“ENAM DIMENSI STRATEGIS ADMINISTRASI PUBLIK”
Yeremias T.
Keban, ph.D
Diresume oleh :
Lio Permana
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
BAB
1
PENDAHULUAN
A. Batasan
1. Istilah Administrasi
Pendapat A
Dunrise yang dikutip oleh Donovan dan Jackson (1991:9) menunjukan beberapa
batasan tentang “administrasi”. Administrasi menurut A Dunrise, diartikan
sebagai arahan, pemerintahan, kegiatan implementasi, mengarahkan, penciptaan
prinsip prinsi implementasi kebijakan, kegiatan melakukan analisis,
menyeimbangkan dan mempresentasikan kebijakan, pertimbangan-pertimbangan
kebijakan, sebagai kegiatan individual dan kelompok dalam menghasilkan barang
dan jasa publik, dan sebagai arena bidang kerja akademik dan teoritis. Kedua
pengarang ini juga mengutip trecker (Donovan dan Jackson, 1991;10) bahwa
administrasi merupakan proses yang dinamis dan berkelanjutan, yang digerakan
dalam rangka mencapai tujuan dengan cara memanfaatkan orang dan material
melalui koordinasi dan kerja sama. Menurut Donovan dan Jackson sendiri tugas
tugas administratif meliputi kegiatan mengidentifikasi kebutuhan,
mendefinisikan dan mendefinisikan kembali serta menginterpretasidan menggunakan
tujuan organisasi sebagai tuntunan programdan pelayanan, mengaman kan
sumberdaya keuangan, fasilitas, staff, dan berbagai bentuk dukungan lainnya,
mengembangkan program dan pelayanan, mengembangkan struktur dan prosedur
organisasi, memanfaatkan kepemimpinan dalam proses pembuatan kebijakan,
pengembangan prosedur, dan prinsip-prinsip operasi, mengevaluasi program dan kepegawaian
secara berkesinambungan, dan membuat perencanaan serta melakukan penelitian,
dan menggunakan kepemimpinan dalam proses perubahan yang di butukan dalam
organisasi pelayanan manusia.
2.
Istilah
“Administrasi Publik”
Menurut Chandler
dan Plano (1988: 29), Administrasi Publik adalah dimana sumberdaya dan personel
publik diorganisir dan dikoordinasikan untuk memformulasikan,
mengimplementasikan, dan mengelola keputusan keputusan dalam kebijakan publik.
Kedua pengarang ini juga menjelaskan bahwa administrasi publik merupakan seni
dan ilmu yang ditujukan untuk mengatur “public affairs” dan melaksanakan
berbagai tugas yang telah ditetapkan. Dan sebagai suatu disiplin ilmu,
administrasi public bertujuan untuk memecahkan masalah masalah publik melalui
perbaikan perbaikan terutama di bidang organisasi, sumberdaya manusia dan
keuangan.
McCurdy (1986)
dalam survey literaturnya mengemukakan bahwa administrasi publik dapat dilihat
sebagai suatu proses politik, yaitu sebagai salah satu metode memerintah suatu
negara dan dapat juga dianggap sebagai cara yang prinsipil untuk melakukan
berbagai fungsi negara. Dengan kata lain bahwa administrasi publik bukan hanya
sekedar persoaalan administratif tetapi juga persoalan polotik.
Makna
administrasi publik sangatlah bervariasi, bahkan ada yang mempresepsikan
“administration of public”, ada yang mengatakan administratioan for public”
bahkan ada yang mengatakan “administration by public”.
Fesler (1980),
misalnya, mengemukakan bahwa “the
administration of govermental affairs”. Administrasi Publik menyangkut
penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh birokrasi dalam
skala besar, dan untuk kepentingan publik.
Presepsi tentang
Administrasi Publik sangatlah bervariasi. Variasi ini dapat dilihat dari
pendapat-pendapat yang dikutip oleh Stillman II (1990) sebagai berikut :
1.
Menurut Dimock, Dimock, & Fox,
Administrasi merupakan produk barang-barang dan jasa yang direncanakan untuk
melayani kebutuhan masyarakat ekonomi, atau serupa dengan business tetapi
khusus dalam menghasilkan barang dan pelayanan publik.
2.
Barton & Chapple melihat
asministrasi pblik sebagai “the work of goverment” atau pekerjaan yang
dilakukan pemerintah. Definisi ini menekankan aspek keterlibatan personnel
dalam memberikan pelayanan publik.
3.
Nigro & Nigro mnegemukakanbahwa
administrasi publik adalah usaha kerjasama kelompok dalam suatu lingkungan
publik, yang mencangkup ketiga cabang yaitu yudikatif, legislatif dan
eksekutif; mempunyai suatu peranan penting dalam memformulasikan kebijakan publik
sehingga menjadi bagian dari proses politik; sangat berbeda dengan cara-cara
yang ditempuh oleh administrasi swasta, dan berkaitan erat dengan beberapa
kelompok swastadan individu dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat.
Definisi ini lebih menekankan proses kelembagaan yang melibatkan usaha kejasama
kelompok sabagai kegiatan publik yang berbeda dari kegiatan swasta.
4.
Nicholas Henry memberi batasan bahwa
administrasi publik adalah suatu kombinasi yang kompleks antara teori dan
praktek, dengan tujuan mempromosikan pemahaman terhadap pemerintah dalam
hubungannya dengan masyarakan yang diperintah, dan juga mendorong kebijakan
publik agar lebih responsif terhadap kebutuhan sosial. administrasi publik
berusahakan melembagakan praktek-praktek manajemen agar sesuai dengan
effektivitas, effisiensi, dan pemenuhan kebutuhan mesyarakat secara lebih baik.
Dengan demikian, definisi ini melihat administrasi publik sebagai kombinasi
teori dan praktekyang mencampuri proses manajemen dengan pencapaian nilai-nilai
normatif dalam masyarakat.
Safritz dan
Russel (1997: 5 – 41) mendefinisikan administrasi publik berdasarkan empat
kategori yaitu sebagai beriku :
1.
Definisi berdasarkan kategori politik
melihat administrasi publik sebagai “what goverment doing” (apa yang dikerjakan
pemerintah) baik langsung maupun tidak langsung, sebagai suatu tahapan siklus
pembuatan kebijakan publik, implementasi kepentingan publik, dan sebagai
kegiatan yang dilakukan kolektif karena tidak dapat dilakukan secara
individual.
2.
Definisi berdasakan kategori
legal/hukum, melihat administrasi publik sebagai penerapan hukum (law in
action), sebagai regulasi, sebagai kegiatan pemberian sesuatu dari penguasa
kepada rakyatnya, dan sebagai bentuk ”pencurian” dari pihak yang kaya untuk ke
pihak yang miskin, dimana pihak yang dirugikan harus tunduk menaatinya.
3.
Definisi berdasarkan kategori
manajerial, administrasi publik adalah fungsi eksekutif dalam pemerintahan,
sebagai bentuk spesialisasi dalam manajemen (bagaimana mencapai hasil melalui
orang lain).
4.
Definisi berdasarkan kategori mata
pencaharian, administrasi publik adalah suatu bentuk profesi (okupasi) mulai
dai tukang sapu sampai ahli oprasi otak di sektor publik.
Dari semua
batasan diatas, ada beberapa makna penting yang harus diingat karena berkenaan
dengan hakekat administrasi publik yaitu:
1.
Bidang tersebut lebih berkaitan dengan
dunia eksekutif, meskipun juga berkaitan dengan dunia legislatif dan yudikatif;
2.
Bidang tersebut berkenaan dengan
formulasi dan implementasi kebijakan publik;
3.
bidang tersebut juga berkaitan dengan
masalah manusiawi;
4.
Meskipun bidang tersebut hampir mirip dengan administrasi swasta, tapi overlapping dengan
administrasi swasta.
5.
Bidang tersebut diarahkan untuk
menghasilkan public goods dan services; dan
6.
Bidang ini memiliki aspek teoritis dan
praktis.
B.
Ruang Lingkup
Buku yang ditulis oleh Nicholas Henry (1995)
memberikan beberapa ruang lingkup yang dapat dilihat dari topik-topik yang
dibahas (selain perkembangan administrasi publik itu sendiri), antara lain :
1.
Organisasi publik, yang pada prinsipnya
berkenaandengan model-model organisasi dan prilaku birokrasi,
2.
Manajemen publik yaitu berkenan dengn sistem dan ilmu
menejemen, evaluasi program dan produktivitas, anggaran publik dan manajemen
sumberdaya manusia.
3.
Implementasi yaitu menyangkut pendekatan terhadap
kebijakan publik dan implementasinya, privatisasi, afministrasi antar
pemerintahan dan etika birokrasi.
Aspek atau dimensi strategis yang dibicarakan dalam administrasi publik
atau yang paling menetukan dinamika administrasi publik adalah (1) manajemen
faktor internal dan external, (2) pengaturan struktur organisasi agar
kewenangan dan struktur tanggung jawab, termasuk prilakunya sesuai kondisi dan
tuntutan lingkungan, (3) respons secara benar terhadap kebutuhan, kepentingan
dan aspirasi masyarakat dalam pembuatan keputusan atau kebijakan publik, (4)
pengaturan moral dan etika melalui kode etik agar semua penggunaan kemampuan,
kompetensi dan profesi tidak disalahgunakan untuk kepentingan di luar
kepentingan publik, (5) pengenalan karakteristik lingkungandimana administrasi
publik itu beroperasi, baik dalam konteks hubungan antara lembaga negra,
lembaga swasta, masyarakat dan lingkungan lain seperti lingkungan politik,
ekonomi, sosial dan budaya, dan (6) akuntabilitas kinerja yaitu suatu janji
kepada publik yang harus dipenuhi atau ditepati dan dapt dipertaggungjawabkan
melalui berbagai kegiatan pelayanan atau pemberian barang barang publik.
Dengan kata lain, ruang lingkup suatu administrasi publik meliputi
dimensi-dimensi strategis berikut :
1.
Dimensi Kebijakan
2.
Dimensi Organisasi
3.
Dimensi Manajemen
4.
Dimensi Moral dan Etika
5.
Dimensi Lingkungan
6.
Dimensi Akuntabilitas Kinerja
C. Hubungan Antar
Dimensi-dimensi Administrasi Publik
Lingkungan dapat mempengaruhi kinerja secara langsung
tanpa melalui kebijkan, manajemen, organisasi, moral dan etika, seperti
masuknya kebiasaan dan tradisi masyarakat, perubahan gaya hidup, perubahan
harga dan nilai tukar, bencana alam, dsb., yang mempengaruhi kinerja organisasi
publik karena menambah biaya denan kesulitan lebih tinggi.
Dari Gambar diatas dapat dilihat bahwa kelima dimensi
yaitu lingkungan, kebijakan, organisasi, manajemen, dan etika sangat
berpengaruh terhadap kinerja administrasi publik. Gambar tersebut menunjukan
apabila kinerja administrasi publik pada suatu saat buruk, maka dapat
ditelusuri penyebabnya dari kelima dimensi tersebut atau kombinasi dari kelima
dimensi tersebut. Hubungan-hubungan ini harus dilihat sebagai hubungan yang
bersifat strategis karena kebanyakan masalah kinerja birokrasi yang muncul di
dalam tubuh administrasi publi justru berakar atau berasal dari sini.
- Peran Administrasi Publik
Karl Polanyi berpendapat bahwa kondisi ekonomi suatu
negara sangat bergantung kepada dinamika administrasi publik. William Graham
Sumner Pelopor Darwinian di Amerika Serikat menunjukan bahwa administrasi
publik dapat membuat sistem kenegaraan yang ada menjadi buruk. Peran tersebut
juga dapat dilihat dari pernyataan Walter Weyl bahwa pemerintaha dapat
menyensarakan rakyat bila meneraokan administrasi publik dengan gaya “shadow
democracy”. Sebaliknya Frederick A.Cleveland justru menujukan bahwa peran
administrasi publik sangatlah vitaldalam membantu memberdayakan masyarakat dan
menciptakan demokrasi. Pendapat Cleveland yang diungkapkan berpuluh-puluh tahun
silam ini nampaknya sejalan dengan ide Janet V.Denhardt dan Robert B.Denhardt
(2003: xi) yang melihat bahwa administrasi publik, melalui pelayanan-pelayanan
publiknya dapat memberikan atau menciptakan demokrasi.
Oleh karena administrasi publik merupakan medan dimana
para aparat pemerintahan atau eksekutif melaksanakan pekerjaan pekerjaan yang
berkaitan dengan sektor publik khususnya penyediaan layanan Oleh karena administrasi publik merupakan
medan dimana para aparat pemerintahan atau eksekutif melaksanakan pekerjaan
pekerjaan yang berkaitan dengan sektor publik khususnya penyediaan layanan bagi kepentingan publik
maka peran administrasi publik sangat menentukan kestabilan, ketahanan, dan
kesejahteraan suatu negara. Selain itu, administrasi publik juga dapat dilihat
sebagai ajang dimana dapat disaksikan atau dibuktikan apakah benar para
elit-elit birokrasi dan politisi memenuhi janjinya atau membuktikan komitmennya
kepada publik yang telah memilih mereka. Karena itu, administrasi publik juga
sangat berperan dalam menjaga kepercayaan publik.
- Kegiatan Administrasi Publik
Kegiatan
administrasi publik adalah kegiatan yang dilakukan oleh pejabat struktural atau
pemegang eselon yang memimpin suatu unit, maupun oleh pejabat non struktural
yang tidak memimpin suatu unit. Secara khusus, kegiatan administrasi publik
difokuskan pada aspek manajemen sebagai pelaksanaan dari kebijakan publik.
Artinya adminnistrasi publik telah berkenaan dengan kegiatan pengelolaan
pelayanan publik maupun penyediaan barang-barang publik.
Tulisan
ini melihat melihat kegiatan administrasi publik decara lebih komperhensif
lagi, yaitu tidak hanya menyangkut aspek manajemen, tetapi juga dimensi dimensi
strategis lainnya seperti penataan kebijakan publik, organisasi, pengembangan
moral dan etika, adaptasi lingkungan, dan pengembangan akuntabilitas kerja.
Alasan yang paling mendasar adalah bahwa “the work of goverment” dapat berhasil
bila dimensi-dimensi tersebut secara keseluruhan diperhatikan atau berfungsi baik.
- Tujuan Kegiatan Administrasi Publik
Kegiatan
administrasi publik bertujuan memenuhi kepentingan publik atau secara akademik
dikenal dengan istilah “publik interest”. Meskipun kepentingan umum merupakan
sasaran utama dari kegiatan administrasi publik, tetapi kepentingan umum itu
sendiri menimbulkan masalah karena ketidakjelasan konsepnya (Denhart, 2003).
Ada yang mengartikan sebagai konsep kepentingan yang dirumuskan oleh para
pembuat kebijakan yang dipilih (elected policy makers) sebagai mana terdapat
administrasi publik lama (klasik). Ada yang beranggapan Sebagai suatu konsep
yang tidak relevan lagi (pendapat kaum abolitionist) dalam administrasi publik
sebagai mana dalam New Publik Manajement karena telah digantikan oleh koalisi
dari kepentingan khusus yang menang. Namun sebagai mana yang diungkapkan dalam
New Public Service (lihat Denhart, 2003) yang mendefinisikan kepentingan
sebagai “shared values”, yaitu lebih
menggambarkan apa yang dianggap bernilai oleh masyarakat atau kominitas yang
dinyatakan langsung oleh masyarakat itu sendiri.
- Perbedaan Administrasi Publik dengan Administrasi Swasta
Appleby
mengatakan bahwa pemerintah dan swasta sangat berbeda orientasinya.
Perbedaannya adalah pada pihak yang dilayani. Pemerintah melayani kepentingan
publik sementara swasta melayani kepentingan swasta / pribadi.
Administrasi
publik bebeda dengan administrasi swasta, tidak hanya dalam konteksnya, tetapi
juga dalam orientasi nilainya. Misalnya, Administrasi swasta lebih bersifat
“profit oriented” sementara administrasi publik lebih “non profit oriented”;
administrasi swasta lebih menekankan rasionalitas berdasarkan economic man
model”, sementara asministrasi publik lebih menekankan rasionalitas berdasarkan
“administrave man model”; dan administrasi swasta lebih mendapatkan sentuhan
pasar lebih mendapatkan sentuhan pasar, lebih otonom, dan kurang mendapat
pengaruh politik, sedang administrasi publik sebaliknya.
Administrasi
publik juga harus mempertimbangkan nilai lain seperti keadilan dan tanggung
jawab terhadap public atau democratic responsbility and acoountability (lihat
Chandlet dan Plano (1988: 4).
- Sosok Administrasi Publik
Administrasi
publik adalah orang-orang baik yang menguasai berbagai prinsip, metode, dan
teknik yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan organisasi publik. Sifat dan
penguasaan tersebut menuntut administrator publik sebagai sosok yang etis,
rasional, pandai menggunakan prinsip, metode dan teknik tersebut sesuai
kebutuhan. Disamping itu, Seoarang administrator dituntut untuk selalu peka
terhadap kebutuhan masyarakat. Ia adalah sosok yang responsif. James L.Perry
(1989: 620-625) yang menggambarkan administrator yang ideal adalah yang
memiliki technical skill, human skill, conceptual skill, responsif erhadap
institusi-institusi demokratis, berorientasi pada hasil, mampu mengembangkan
jaringan kerja, dan memiliki kemampuan melakukan komunikasi dan menjaga
keseimbangan antara keputusan dan kegiatan.
Selain
sosok tersebut, administrator adalah orang pilihan, artinya ia menduduki
jabatan atas dasar kompetisi, bukan ats dasar kepercayaan semata.
- Isu Tentang Benturan Nilai-nilai dalam Administrasi Publik
Para
administrator sering menghadapi benturan nilai yang membuat mereka “sakit
kepala” bahkan mengurangi wibawa mereka karena masyarakat menjadi kurang
percaya kepada mereka. Contoh pertama dapat dilihat dari benturan nilai
efisiensi dengan keadilan, kedua dapat diamati dari benturan nilai rasionalitas
dengan nilai kepuasan, ketiga berkenaan dengan benturan nilai netralitas dengan
nilai keberpihakan. Dan contoh lain berkenaan dengan drajad intervensi.
Beberapa contoh isu dilematis diatas merupakan gambaran bagaimana sulitnya
seorang administrator itu beroperasi dalam dunianya.
Karena
sulit menangani dilema diatas dan adanya keharusan menggunakan seni dalam
bekerja, maka seorang administrator harus diberikan “keleluasaan” (discreation)
dalam bertindak. Disini administrator harus mlakukan “adjusment” sesuai dengan
kode etik profesi dan tuntutan masyarakatnya.
BAB
2 SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ADMINISTRASI
PUBLIK
A.
Pendahuluan
E.N.Gladen mengatakan, di jaman mesir
kuno birokrasi yang besar pasti telah ada, skandal korupsi dan sifat birokrasi
yang berbelit-belit pasti sudah berkembang waktu itu.
Literatur yang ditulis oleh L.D White
pada 1948, 1951, 1954, dan 1958 menjelaskan tentang sejarah aministrasi publik
di Amerika Serikat. Salam terbitan pertama white menjelaskan tentang penciptaan
dan pendewasaan otiritas eksekutif dan dapertement di bawah pemerintahan
hamilton yang dikenal sebagai arsitek pemerintahan baru waktu itu tanpa bantuan
menggunakan pengalaman sektor swasta sebagai disarankan setelah tahun 1901.
Dalam terbitan kedua, White menjelaskan tentang era administrasi Jeffersonian
ang merupakan titik awal munculnya ide dan praktek aliran federalisme. Dalam
terbitan ketiga White menjelaskan tentang “Jacksonian” dimana ia menekankan
pentingnya pemerintahan negara bagian dan lokal, dan mulai merosotnya moralitas
didalam pemberian pelayanan publik, dan diversifikasi struktur administrasi
untuk disesuaikan dengan meningkatnya besaran pemerintahan. Dan dalam ternitan
ke empat, White memusatkan perhatiannya pada dua isu administratif yang paling
besar saat itu adalah isu tentang bagaimana mempertahankan kepresidenan dan isu
tentang reformasi pelayanan publik.
Secara jelas disiplin ilmu ini mulai
diajarkan sekitar tahun 1950an pada universitas-universitas di Indonesia ketika
modernisasi sebagai bagian dari doktrin pembangunan bagi negara-negara
berkembang disebarluaskan.
B.
Administrasi
Publik Sebelum Wilson
Meskipun literatur kuno yang langsung
berkaitan dengan nama “administrasi publik” kurang begitu banyak ditemukan,
namun cukup banyak literatur yang berkenaan dengan filsafat kenegaraan, hukum
dan politik seperti buku-buku pemikiran Confucius, Plato, Aristoteles,
Machiavelli, de Montesquieu, Rousseau, Bonnin, Hegel, Vivien dan Mill yang
menggambarkan adanyadisiplin administrasi publik, bahkan telah ada perhatian
khusus terhadap perkembangan disiplin ilmu tersebut (lihat Martin, 1989:
14-22).
Semua isi tulisan kuno diatas
membuktikan bahwa prinsip-prinsip administrasi publik dan berbagai isunya sudah
gencar dipersoalkan jauh sebelum Wodrow Wilson muncul sebagai bapak
administrasi publik di Amerika Serikat. Perdebatan tentang dikotomi
administrasi dan politik ternyata merupakan isu yang telah lama diungkapkan di
prancis, termasuk melihatadministrasi publik sebagai seni dan ilmu.
C.
Pergeseran
Paradigma
Paradigma merupakan suatu cara pandang,
nilai-nilai, metode-metode, prinsip dasar, atau cara memecahkan sesuatu masalah,
yang dianut oleh suatu masyarakat ilmiah pada suatu masa tertentu (Khun, 1970).
Nicholas Henry mengungkapkan bahwa telah
terjadi lima paradigma dalam administrasi negara yaitu Paradigma 1 (1900-1926)
dikenal sebagai paradigma dikotomi antara politik dan administrasi negara.
Paradigma 2 (1927-1937) disebut paradigma prinsip-prinsip administrasi.
Paradigma 3 (1950-1970) adalah administrasi negara sebagai ilmu politik.
Paradigma 4 (1956-1970) adalah administrasi publik sebagai ilmu administrasi.
Paradigma 5 (1970-sekarang) merupakan paradigma terakhir yang disebut
administrasi publik sebagai “administrasi publik”.
Gerald E. Caiden (1982), yang merinci
ada beberapa aliran dalam administrasi publik yaitu aliran proses
administrasif, aliran empiris, aliran prilaku manusia, aliran analis birokrasi,
aliran sistem sosial, aliran pengambilan keputusan, aliran matematik dan aliran
integratif.
Donald F. Kettl (1993: 409-4012) juga
mengungkapkan paradigma administrasi publik sesuai tahapak pengembangan
administrasi publik, yaitu yaitu tahap sentralitas administrasi (1887-1915),
tahap scientific management (1915-1940), tahap uji diri yang kritis (critical
self-examination, 1940-1969), dan tahap terjadinya faktor-faktor sentri fugal
(1969 sampai sekarang).
Pada tahun 1983 terdapat paradigma baru
yang muncul untuk merevisi POSDCROB yang disampaikan oleh G.D Garson dan E.S
overman dalam suatu bentuk akronim dengan nama PAFHIER, singkatan dari Policy
Analysis, Financial, Human Resources, Information, dan Eksternal Relations dan
kemudian menjadi pusat perhatian manajemen publik (lihat Garson & overmann,
1991).
Kurang lebih setelah sepuluh tahun,
terjadi pergeseran paradigma, yang dikenal dengan nama ”post-bereaucratic
paradigm” oleh Barzelay (1992) dan dengan Armajani (1997). yang benar-benar
berbeda dengan paradigma birokratik yang banyak dikritik orang.
Dalam saat yang bersamaan muncul
paradigma yang sangat terkenal kerena bersifat reformatif yaitu “Reinventing
Government” yang disampaikan oleh D. Osborne dan T Gaebler (1992) dan kemudian
di operasionalisasikan oleh Osborne & Plastrik (1997). Paradigma ini juga
dikenal dengan nama New Public Management
dan mencapai puncaknya dengan diterapkannya prinsip “good governance”. Di tahun 2003, atau kurang lebih sepuluh tahun
kemudian muncul lagi paradigma baru yaitu The
New Public Service oleh J.V Denhardt dan R.B Denhardt (2003).
D.
Pengaruh
Disiplin Lain dan Teknologi.
1.
Pengaruh
manajemen klasik: Orthodoxy
Ide dasar manajemen klasik berkembang dari
revolusi industri pada abad ke 19, khususnya dari beberapa tokoh penting yang
digolongkan dalamaliran klasik yaitu robert Owen (1771-1858), Frederick W.
Taylor (1856-1915), dan Henry Fayol (1841-1925). masuknya pengaruh manajemen
klasik kedalam administrasi publik dapat ditelusuri sejak abad 19 ketika para
cendekiawan Amerika Serikat mempersoalkan praktek kepegawaian yang tidak adil
seperti penggunaan sistim kekeluargaan atau sistimdalam penerimaan pegawai pada
instansi-instansi pemerintahan.
Leonard D. White, setelah menerima ide
pemisahan politik dari administrasi, mengusulkan “management” sebagai materi
khusus bagi administrasi publik. Ia mengusulkan beberapa hal khusus seperti
sistim pengadaan, ujian, klasifikasi, promosi, disiplin, dan pensiunan pegawai
untuk diatur dalam suatu management untuk mencapai tujuan negara.
Pengaruh manajemen klasik paling dominan
dalam dunia administrasi publik adalah diterbitkannya “Papers on the Science of
Administration” karya Dulick dan Urwick seperti disebut diatas, dimana Gulick
(lihat karya Gulick dalam Shafritz dan Ott, 1992 : 87 -95) mengajukan bahwa
yang seharusnya dilakukan oleh kepala eksekutif adalah POSDCORB, suatu akronim
yang meliputi Planing, Organizing,
Staffing, Directing, Coordinating, Reporting, Budgeting.
2.
Reaksi
terhadap manajemen klasik (orthodoxy)
Ada kesan bahwa prinsip ini tidak
bersifat politis dan obyektif terhadap pemecahan masalah. Menurut Herbert A.
Simon, POSDCORB tidak menggambarkan apa yang sebenarnya dilakukan oleh
administrator publik, terutama dalam konteks “desision making”. POSDCORB
menjadi kurang ilmiah karena tidak
menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi dalam praktek administrasi publik.
Dwight Waldo mengeritik bahwa POSDCORB
adalah doktrin administrasi yang tidak netral. Doktrin tersebut mengandung
nilai-nilai yang kompleks dari politik dan filsafat kuno dan peradaban dunia
barat.
Disisi lain Paul H.Appleby mengungkapkan
bahwa sesungguhnya sangat tergantung dari situasi bukan dari doktrin atau
prinsip-prinsip administrasi yang benar. Disatu pihak, Appleby kelihatannya
tidak merekomendasikan POSDCORB karena situasi yang begitu kompleks, tapi di
lain pihak, tidak memberikan perskripsi atau cara terbaik yang dapat dipelajari
dan dipakai sebagai pegangan.
3.
Pengaruh-pengaruh
Lain: Heterodoxy
Usaha Simon, Waldo, dan Appleby untuk merobah
POSDCORB ternyata gagal. Namun demikian, POSDCORB tetap digunakan dalam teori
dan praktek administrasi publik, dan kenyataan telah menunjukan adanya pengaruh
dari berbagai disiplin ilmu dan teknologi seperti diuraikan oleh stillman II
(1990) berikut ini:
a.
Pengaruh
Adminisrative Science
b.
Pengaruh
Ilmu Politik
c.
Pengaruh
Sosiologi
d.
Pengaruh
Ilmu Ekonomi
e.
Pengaruh
Psikologi Sosial
f.
Pengaruh
Sisiplin Sejarah
g.
Pengaruh
Ilmu Perbandingan Administrasi, dan Globalisasi
h.
Pengaruh
Teknologi, Teknik dan Spesialisasi Baru
E.
Arah
Perkembangan Administrasi Publik
Stillman II (1990) mengungkapkan bahwa
arah teori administrasi publik sangat tergantung dari apa presepsi tentang “Who
Should rule? What isthe meaning of the good life ? What are the methods for
realizing the good life? What are appropriate criteria for action? What are the
best organization formats ? what is the vision of the ideal state ?” Jawaban
pertanyaan-pertanyaan tersebut banyak menimbulkan perdebatan yang mengarah pada
empat model administrasi publik. Masing-masing model tersebut memiliki
karakteristik yang sangat spesifik, sesuai dengan perkembangan suatu negara.
Berikut ini akan dijelaskan masing-masing model tersebut.
1.
“No-State”
Model
Ide semacam ini memberikan kesempatan
kepada para individu intuk melakukan kompetisi alamiah dan bebas dari
pengandalian negara. Negara hanya menjaga kesetabilan kebijakan moneter,
mempromosikan pertumbuhan ekonomi yang rendah, dan menjaga padar terbuka.
Dengan kata lain, negara berusaha membiarkan pasar bekerja tanpa campur tangan
apa-apa.
2.
“Bold
State” Model
Model ini lebih melihat negara sebagai
suatu yang positif dalam mempromosikan dan menjaga kehidupan publik. Model ini
menuntut adanya perluasan peranan lembaga pemerintahan yang dapat mampu
menanggapi perubahan-perubahan yang datang dari masyarakat dan individu.
Dalam model seperti ini, para
administrator diangkat berdasarkan atas karier dan spesialisasinya.
3.
“Pre-State”
Model
Dalam model ini, kepercayaan tehadap
kekuatan pasar sangat tergantung dari situasi; peranan pemerintah pusat juga
sangat tergantung dari kebutuhan atau permasalahan yang dihadapi; kebijakan
yang disarankan biasanya dipengaruhi oleh semua pihak baik dari pemerintah itu
sendiri maupun dari masyarakat.
4.
“Pro-state”
Model
Model ini melihat bahwa batas-batas
antar negara dan antar swasta dan pemerintah semakin suram. Model tersebut
percaya akan aplikasi teknologi dan penemuan ilmiah untuk dimanfaatkan dalam
dunia administrasi publik. Karena itu, semua intuisi, kebijaksanaan (wisdom),
dan berbagai bentuk pertimbangan tidak rasional, kurang dimanfaatkan oleh model
tersebut. Semua pengetahuan yang bersumber dari sejarah, politik, sastra,
puisi, dan filsafat, diabaikan. Dengan kata lain, “expertise”, ”tecniques”, dan
“tecnologies” merupakan pusat perhatian model tersebut
BAB 3 DIMENSI
KEBIJAKAN
A. Pendahuluan
Dimensi kebijakan berkenaan dengan
keputusan tentang apa yang harus dikerjakan. Untuk memproses sebuah keputusan
yang efektif, dibutuhkan serangkaian prinsip-prinsip seperti rasionalitas dan
politis. Output dari proses tersebut dapat berupa keputusan tentang alternatif
terbaik yang siap untuk diimplementasikan.
Karena kebijakan ini adalah kebijakan
publik, maka yang ditekankan disini adalah masalah, kebutuhan dan aspirasi
publik yaitu aspirasi masyarakat yang seharusnya dilayani. Dimensi kebijakan
sangat berperan dalam menekan bentuk-bentuk kesalahan atau eror. untuk
menghindarkan berbagai kesalahan, diperlukan suatu latihan atau pendidikan
khusus, dan moral yang baik bagi para birokrat kunci dan para analis kebijakan
yang ada.
B. Batasan dan Ruang
Lingkup
1.
Istilah
“ Kebijakan”.
Apa itu Policy atau kebijakan ? Policy
dapat dilihat sebagai konsep filosofis, sebagai suatu produk, sebagai suatu
proses, dan sebagai suatu kerangka kerja (lihat pendapat Graycar, yang dikutip
Donovan dan Jackson, 1991: 14).
Hogwood dan Gun (lihat Turner &
Hulme, 1997: 59) pernah membeberkan serangkaian definisi atau pengertian
tentang kebijakan (policy) yang menunjukan makna berbeda-beda. Policy dapat
diartikan sebagai label bagi suatu bidang kegiatan seperti kebijakan ekonomi,
kebijakan industri, kebijakan ketertiban dan hukum; dapat diartikan sebagai
suatu ekspresi mengenai tujuan umum atau kondisi yang diinginkan; dapat pula
diartikan debagai usulan atau proposal khusus; dapat dilihat sebagai keputusan
pemerintah; dapat pula dilihat sebagai program; sebagai output; sebagai
outcome; bisa juga diartikan sebagai teori atau model; dan dapat diartikan sebagai
proses seperti penetapan tujuan.
Tuner dan Hulme melihat policy sebagai
proses yang meliputu proses proses pembuatan kebijakan dan pelaksanaannya.
Mungkin lebih populer jika dikatakan bahwa kebijakan merupakan suatu keputusan
(lihat Shafritz dan Russell, 1997) dan sifatnya hierarkis mulai dari tingkat
yang paling tinggi (top level) sampai pada tingkat bawah (streer level).
2.
Istilah
“Kebijakan Publik”.
Menurut buku kamus Administrasi Publik (
Chandler dan Plano, 1988: 108) kebijakan
publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap terhadap sumberdaya-sumberdaya
yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Sedangkan
Shafritz dan Russell (1997) memberikan definisi kebijakan publik yang paling
mudah diingat dan mungkin paling praktis yaitu “whateever a goverment decides
to do or not to do”. Dan Peterson (2003: 1003) berpendapat bahwa kebijakan
publik secara umum dilihat sebagai aksi dalam menghadapi masalah, dengan
mengarahkan perhatian terhadap “siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana”.
Pada umumnya, bentuk kebijakan dapat
dibedakan atas regulatory,
redistributive, distribituve, constituent. Sedangkan menurut J.Q Wilson
sebagai mana dikutip Peterson (2003) tipe kebijakan terdiri atas
“majoritarian”, “client”, “entrepreneurial”, dan “interest group”.
C. Pergeseran
Paradigma
Dalam berbagai literatur tentang
kebijakan dapat dilihat upaya-upaya para pioner kebijakan menghasilkan
alternatif terbaik (lihat Martin, 1989). Vilfredo Pareto, misalnya, pernah
mengemukakan pendapatnya ditahun 1935 bahwa kebijakan hanya dapat diterima atau
diadopsi apabila kebijakan tersebut menguntungkan paling kurang satu orang,
tetapi tidak merugikan seorangpun. Prinsip kebijakan ini dikenal dengan
“Pareto’s Optimality” atau “Doctrine of Maximum Staticfaction”. Akan tetapi,
ditahun 1939, hal ini dilihat oleh J.R hicks sebagai sesuatu yang sulit
dilakukan. Menurut Hicks setiar kebijakan pasti akan merugikan seseorang,
karena itu ia menyarankan suatu prinsip yang dikenal “Kaldor-Hicks Criterion”
yang menyatakan bahwa mereka telah terbantu oleh suatu kebijakan dapat memberikan kompensasi
atau membagi perolehan tersebut kepada mereka yang dirugikan. Pendapat ini
kemudian dilengkapi oleh M.D Little pada tahun 1950 bahwa suatu kebijakan dapat
diadopsi apabila kebijakan tersebut mampu meredistribusikan kekayaan secara
baik.
Ditahun 1951, Daniel Lerner dan Harold
D. lasswell menyaran penggunaan analisis yang sistematik dalam kebijakan. 1959
Charles Lindbloom mengungkapkan bahwa kebijakan-kebijakan sebaiknya dibuat
dengan proses yang incremental dan bukan melalui proses yang rasional
comperhensive.
Kemudian ditahun 1962, Morton Kroll
menyarankan agar kebijakan sebaiknya dipelajari sebagai suatu kesatuan dari
tiga elemen yaitu pola tentang nilai, sistem etika, dan pengaturan institusional.
Tahun 1964 William W. Boyer membagi tahapan pembuatan kebijakan dalam lima
langkah yaitu pembuatan keputusan,
programin, komunikasi, control, dan penilaian kembali. Dan 1965 Sir
Geoofrey Vickers menyarankan agar para pembuat kebijakan kiranya memperhatikan
situasi atau memperhatikan penilaian tentang kriteria dan pengukuran kesuksesan
sebuah kebijakan.
Kemudian Di tahun 1972 Thomas R. Dye
Menyarankan agar digunakannya anasisis dampak (impact analysis) dalam menilai
efektivitas kebijakan, dan pada tahun 1976 dia menyarankan agar dikembangkannya
suatu “policy science”.
Kemudian, Theodore Lowi ditahun 1969
melihat bahwa yang tidak beres dalam pembuatan kebijakan bukanlah tekniknya
akan tetapi kecenderungan kelompok tertentu
yang mendominasi pembuatan keputusan untuk kepentingannya dan
mengorbankan kepentiingan publik. Pada tahun 1978 Edith Stokey adn Richard
Zeckhauser menyarankan penggunaan modelling untuk mendiskripsikan sebuah
pembuatan kebijakan. Pada tahun1979 Aaron Wildavsky memberikan suatu refleksi
berdasarkan pengalamannya dalam analysis kebijakan, bahwa teknik analisis
kebijakan lebih berguna untuk membuat rekomendeasi bagi para pengambil
keputusan dari pada menjelaskan bagaimana keputusan keputusan tersebut dibuat.
Semua pengalaman sejarah diatas telah
banyak memberikan sumbangan akademik bagi penyempurnaan kualitas pembuatan
kebijakan publik.
Untuk negara-negara berkembang terdapat
dua peradigma populer yaitu societed-centerned
models dan state-centerned models (lihat
Turner & Hulme, 1997: 64-70). Dalam paradigma pertama terdapat tiga model
kebijakan yaitu social class analysis,
pluralism, dan public choice. Sedangkan
pada paradigma state-centerned models terdiri atas rational actor, breaucratic politics, dan state interest.
D. Prinsip-Prinsip
Kebijakan Publik
Prinsip-prinsip kebijakan publik yang
dibahas disini meliputi tahap-tahap kebijakan, analisis kebijakan, implementasi
kebijakan, monitoring dan evaluasi.
1.
Tahap
tahap Kebijakan.
Dalam rangka memecahkan maasalah ada
beberapa tahap penting antara lain (lihat Dunn, 1994), penetapan agenda
kebijakan (agenda seting), formulasi
kebijakan (policy formulation), adopsi kebijakan (policy adoption),
implementasi kebijakan (policy implemetation), dan penilaian kebijakan (policy
assessment).
Ada juga model “policy
making process” yang diungkapkan oleh Shafritz dan Russell (1997: 54) yang
terdiri atas (1) agenda setting dimana isu-isu kebijakan diidentifikasi, (2)
keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan kebijakan, (3) implementasi,
(4)evaluasi program dan analisis dampak: dan (5) feedback, yaitu memutuskan
untuk merevisi atau menghentikan. Proses ini meyerupai suatu siklus.
2.
Analisis Kebijakan
Sejalan dengan tahap tahap
yang telah ditentukan di atas, maka berikut ini akan dijelaskan proses analisis
kebijakan yang dibedakan atas penstrukturan maslah atau diidentifikasi masalah,
identifikasi alternatif, seleksi alernatif, dan pengusulan alternatif terbaik
untuk diimplementasikan.
Ada juga dua buah proses
analisis yang dilakukan setelah alternatif terbaik diimplementasikan :
a. Identifikasi masalah
Output yang diharapkan dari tahap ini adalah
tergambarnya isu atau masalah penting yang dihadapi, dukungan data dan
informasi yang jelas, termasuk siapa yang sedang mengalami masalah dan dampak
apa yang bakal timbul bila tidak di intervensi segera.
b. Identifikasi Alternatif
Tahapan ini menuntut sensivitas yang tinggi dari para
ilmuan dan politisi. Aspek teoritis dan praktis dalam tahap ini juga harus
menjadi acuan dalam mengidentifikasikan alternatif-alternatif kebijakan.
Output ysng diharapkan dari
tahap ini adalah teridentifikasikannya alternatif-alternatif kebijakan, yang
siap untuk dibandingkan antara satu dengan yang lainnya, untuk kemudian dipilih
atau diseleksi.
c. Seleksi Alternatif
Dalam tahap ini seseorang perencana ata policy analyst akan melakukan seleksi
alternatif yang terbaikuntuk diajukan ke policy
makers. Untuk menseleksi atau memilih diantara alternatif kebijakan yang
ada secara efektif, diperlukan kriteria atau standard yang rasional.
Pembahasan mengenai kriteria
tersebut sudah secara luas dibahas dalam berbagai literatur kebijakan publik
(Quade, 1982; Dunn, 1994).
1. Menyepakati
kriteria alternatif
Salah seorang ahli bernama Bardach (lihat Patton &
Sawicky, 1993) mengemukakan beberapa kriteria penting yang dikemukakan disini,
yaitu menyangkut “tecnnical feasbility, poliytical viability, economic and
financial possibility, dn administrative operability”.
Technical Feasbility,
kriteria tersebut mengukur apakah alternatif yang dipilih akan jalan dalam
konteks teknis ? lalu, Ecinomic and financial possibility, kriteria ini
menyangkut evaluasi ekonomis dai policy atau program yang ada, dan meliputi
aspek change in net worth, economic effivienvy, profitability, dan cost
effectiveness. Kemudian, Political Viablility, kriteria politij menyangkut sub
kriteria yang perlu dipertimbankan, yaitu acceptability, appropriateness,
responsiveness, ;egal, dan equity. Kriteria selanjutnya dalah Administrtive
Operability, yaiu yang perlu dipertimbangkan dalam administrative operability
adalah authority, institusional commitment, capability, dan organizational
support.
Semua kriteria ini tidak
begitu berbeda dengan yang dikemukakan oleh Dunn (1994) dengan istilah
“multirational” yang menyangkut technical, economic, legal, sosial, dan
substantive rationality.
Dengan memperhatikan
kriteria kriteri diatas maka secara umum terdapat dua prinsip utama yaitu
prinsip yang berorientasi pada
rasionalitas dan demokrasi. Akantetapi, pemilihan kriteria biasanya tergantung
hakekat tujuan.
Analisis peran merupakan
sesuatu metode khusus dalam analisis kebijakan publik yang ditujukan untuk
melihat kemungkinan – apakah alternatif-alternatif yang dikembangkan akan
mendapat dukungan dari pihak-pihak atau lembaga-lembaga yang berperan dalam
masyarakat.
2.
Penentuan
alternatif terbaik
Aspek paling pening dari tahap ini adalah bahwa dalam
memilih alternatif terbaik perlu selalu berfikir rasional, berprilaku
demokratis dan transparan terhadap semua alternatif yang ada. Output dari
proses ini adalah tersusunnya suatu rangkaian alternatif terpilih lengkap
dengan alasan mengapa alternatif tersebut merupakan alternatif terbaik.
3.
Usulan
terbaik
Suatu usulan tidak hanya sekedar memiliki hubungan
sebab akibat tetapi yang lebih penting lagi adalah hubungan tersebut harus
benar-benar signifikan, artinya alternatif tersebut tidak hanya “perlu” tetapi
“perlu dan cukup” untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
3.
Implementasi Kebijakan
Implementasi berkenaan
dengan berbagai kegiatan yang diarahkan pada realisasi program (Gordon, 1986).
Dalam hal ini, administrator mengaur cara untuk mengorganisir,
menginterpretasikan dan menerapkan kebijakan yang telah di seleksi.
Menurut Goggin dkk (1990)
implementasi dapat dibedakan dalam tiga generasi, yaitu generasi pertama,
kedua, dan ketiga. Implementasi generasi pertama melihat implementasi sebagai
suatu bentuk pelaksanaan yang bersifat top down. Generasi kedua, merupakan
reaksi terhadap kelemahan generasi pertama, yang bersifat bottom up. Dan
implementasi genersi ketiga, pusat perhatian diarahkan pada design kebijakan dan jaringan kebijakan serta
implikasinya pada pelaksanaan dan keberhasilan.
D.L Weimer dan Aidan
R.Vining (1999: 398) menjelaskan bahwa ada tiga faktor umum yang menentukan
keberhasilan yaitu (1) logika yang digunakan oleh suatu kebijakanl; (2) hakekat
kerjasama yang dibutuhkan; (3) ketersediaan sumberdaya yang memiliki kemampuan.
4.
Monitoring dan Evaluasi Kebijakan
Di dalam proses monitoring
ini dilakukan pengaatan langsung kelapangan dan hasil-hasil sementara untuk
dinilai tingkat efisiensi dan efektiviasnya.
Evaluasi digunakan untuk
mempelahari hasil yang diperoleh dalam suatu program untuk dikaitkan dengan
pelaksanaannya, mengendalikan tingkah laku dari orang-orang yang bertanggung
jawab terhadap pelaksanaan program, dan mempengaruhi respons dari mereka yang
berada diluar lingkungan politik.
E. Beberapa
Isu Penting
1.
Isu Etika Kebijakan
Isu generik sering
dipersoalkan berkenaan dengan etika dalam kebijakaan publik. Demua tahapan
proses pembuatan keputusan cenderung berhubungan dengan masalah etika mulai
dari (1) tahap agenda setting analisis masalah, identifikasi kriteria, (2)Tahap
analisis kebijakan, formulasi dan legiimasi, adopsi, (3) tahap alokasi sumber
daya, implementasi dan manajemen, dan (4) tahap evaluasi proses, evaluasi
proses, evaluasi outcome, dan analisis kebijakan yang sedang berjalan (lihat
Donahue, 2003).
2. Isu
Paradigmatis
Dewasa ini muncul ajaran
Reinventing Government (Gaebler & Osbrone, 1993) yang disarikan dalam 10 prinsip
pokok. Kehadiran prinsip ini membawa imlikasi bahwa kebijakan harus
memperhatikan hal sebagai berikut. Pertama,
pemerintah harus bertanggung jawab atas tesusunnya kebijakan dengan memainkan perannya sebagai katalisator. Kedua, pemerintah dalam menyusun
kebijakan harus melibatkan masyarakat karena masyarakat adalah pelanggannya. Ketiga, kebijakan itu harus mendorong
tumbujnya proses belajar fan inovasi dikalangan masyarakat sehingga masyarakat
semakin lama makin berdaya. Keempat,
kebijakan yang dirumuskan juga harus berorientasi pada pasar, termasuk pasar
sosial yang tidak jaug dari kebutuhan masyarakat. Dan kelima, kebijakan-kebijakan yang bersifat preverentif perlu
dilakukan, dan hasil atau kinerja kebujakan darus diutamakan.
Disamping itu , dengan munculnya
paradigma The New Public Service (lihat Denhardt & Denhardt, 2003),
kebijakan publik yang selama ini telah diarahkan kepada tuntutan reinventing
atau New Public Management harus disesuaikan lagi.
3. Isu Kualitas, Efektivitas,
dan Kapasitas Kebijakan
Kualitas kebijakan dap dilihat ,melalui beberapa
parameter penting seperti proses, isi dan konteks atau suasana dimana kebijakan
itu dihasilkan atau dirumuskan. Faktor
yang turut memperburuk tingkat efektivitas kebijakan adalah kurangnya
dukungan sistim anggaran pemerintah. Faktor yang tidak kalah penting juga dalam
menentukan efektivitas kebijakan adalah
rendahnya keterlibatan para stakeholders dan masyarakat.
Kapasitas kebijakan berkenaan dengan kemampuan suatu
kebijakan membawa perubahan sebagai mana diharapkan. Dengan memperhatikan
faktor-faktor penghambat diatas, maka dapat dipastikan bahwa kapasitas
kebijakan dalam memecahkan masalah publik selama ini belum memadai.
4. Isu
Kepalsuan Kebijakan.
Isu terahir yang
kurang mendapat perhatian dan barangkali perlu terus dipertimbangkan di
masa mendatang mendatang adalah
mrnghitung kerugian dari kepalsuan kebijakan yang ada. Isu tentang kepalsuan
kebijakan muncul karena perumus kebijakan memiliki motif khusus yaitu
menggantikan kepentingan publik kedalam kepentingan pribadi, kelompok, atau
jabatan.
BAB
4 DIMENSI MANAJEMEN
A. Pendahuluan
`Dimensi
manajemen berkenaan dengan bagaimana menerapkan prinsip-prinsip manajemen untuk
mengimplementasikan kebijakan publik. Dimensi ini memusatkan perhatian pada
bagaimana melaksanakan apa yang telah diputuskan melalui prinsip-prinsip
tertentu yaitu prinsip manajemen. Dimensi ini menekankan implementasi berupa
penerapan metode, teknik, model dan cara mencapai tujuan secara efisien dan
efektif.
B. Batasan
Manajemen diartikan dengan sangat
variatif oleh para ahli, yang didasarkan pada latar belakang pendidikan,
pengalaman, atau perspektif yang dianut. Menurut Shafritz dan Russell (1997:
20) manajemen didefinisikan tidak hanya menunjukan proses pencapaian tujuan
tetapi juga sekelompok orang yang bertanggungjawab menjalankan proses tersebut.
Donovan dan Jackson (1991: 11 – 12) melihat manajemen sebagai suatu aktivitas
yang dilaksanakan pada tingkatan organisasi tertentu, sebagai serangkaian
keterampilan, dan serangkaian tugas.
Sementara itu, muncul tipe manajemen
khusus yang disebut sebagai manajemen publik, yaitu manajemen instansi
pemerintah. Overman mengemukakan bahwa manajemen publik bukanlah “scientific
manajemen”. Akantetapi manajemen publik merefleksikan tekanan tekanan antara
orientasi “rational-instumental” pada satu pihak, dan orientasi politik
kebijakan dipihak lain. Ott, Hyde, dan Shafritz (1991, hal. xi) mengemukakan
bahwa manajemen publik dan kebijakan publik merupakan dua bidang administrasi
publik yang saling tumpang tindih.
J.Steven Ott, Alber C. Hyde dan Jay M.
Shafritz berpendapat bahwa pada tahun 1990an, manajemen publik mengalami
transisi dengan beberapa isu menantang. isu-isu ini telah menantang sokolah
atau perguruan tinggi yang mengajarkan manajemen publik atau administrasi untuk
menghasilkan calon manajer publik yang profesional yang kualitas tinggi, dan
penataan sistemmanajemen yang lebih baik.
C. Pergeseran Paradigma
Perkembangan manajemen publik paling
tidak dipengaruhi oleh tiga pandangan yaitu manajemen normatif, manajemen
deskriptif, dan manajemen publik.
1.
Manajemen Normatif
Prndekatan manajemen normatif melihat
manajemen debagai suatu proses penyelesaian tugas atau pencapaian tujuan.
Aliran ini mudah dikenal melalui rumusan fungsi-fungsi manajemen bisnis
sebagaimana pernah ditiru oleh POSDCORB. Beberapa fungsi yang bersifat
universal, dirinci sebagai berikut :
a.
Planing.
b.
organizing
c.
stafing
d.
coordinating
e.
motivating
f.
controling
Sementara itu, R.Miles (1975) menciba
meletakan fungsi-fungsi manajemen normatif tersebut dalam tiga teori manajemen,
pertama yang disebut sesuai dengan, kedua yaitu human relation, dan ketiga
adalah human resources.
2.
Manajemen Deskriptif
Pendekatan manajemen deskriptif dapat
diamati dari karya H. Mintzberg(1973). Mintzberg memberikan fungsi-fungsi yang
biasa dilakukan oleh seorang manajer ditempat kerjanya. Menurut mintzberg,
fungsi manajemen yang benar-benar dijalankan terdiri atas kegiatan-kegiatan
personal, interaktif, administratif dan teknis
3.
Manajemen Publik
Woodrow Wilson – penulis “The Study of
Administration” di tahun 1887 (lihat Wilson dalam Shafritz dan Hyde, 1997)
merupakan pionernya. Di dalam tulisannya, Wilson mendesak agar ilmu
administrasi publik segera mengarahkan perhatiannya pada orientasi yang di anut
oleh dunia bisnis (more businesslike), perbaikan kualitas personel dalam tubuh
pemerintah, aspek organisasi dan metode-metode pemerintahan.
Warna manajemen publik dapat terlihat
pada masing-masing paradigma. Misalnya dalam paradigma pertama, pemerintah diajak mengembangkan sistem
rekruitmen pegawai, ujian pegawai negeri, klasifikasi jabatan, promosi,
disiplin dan pensiun secara lebih baik. Paradigma
kedua, dikembangkan prinsip manajemen yang diklaim sebagai prinsip-prinsip
universal yang paling dikenal sebagai POSDCORB, yang merupakan karya Luther
Gullick dan Lyndall Urwick ditahun 1937. Prinsip-prinsip ini kemudian diserang
oleh Herbert Simon dalam karyanya “Administrative Behavior” yang melihat
administrasi publik sekaligus manajemen publik
sebagai kegiatan politik, atau lebih merupakan bagian dari ilmu politik.
ini adalah inti dari Paradigma Keempat, pada
paradigma ini pengetahuan, teknik dan metode serta kemampuan manajerial
terusdikembangkan dan dipelajari diperguruan tinggi ssebagai suatu disiplin
ilmu.
Pada dasawarsa 1990an berkembang model
Manajemen Publik Baru (New Public Manajemen) yang telah membawa inspirasi baru
bagi perkembangan manajemen publik diberbagai negara. Ada juga pendekatan lain
yang disampaikan oleh Henry Mintzberg (1996). Menurut Mintzberg, selama ini
telah berkembang beberapa model antara lain model mesin, network, kontrol
kerja, virtual, dan kontrol normatif. Dalam kaitannya dengan semua model ini
Mintzberg (19960 menilai bahwa kita terlalu mengutamakan model mesin selama ini
dan hasilnya sangat mengecewakan, dan karena itu sudah saatnya beralih kepada
model kontrol normatif.
Pendekatan yang mulai diterapkan sejak
dekade lalu adalah Total Quality Management (TQM). Ide dasarnya terletak pada
TQM triangle yang menekankan keberhasilan manajemen berdasarkan komitmen
anggota dan pimpinan organisasi, pelibatan para anggota organisasi dan
pemanfaatan ilmu pengetahuan.
Disamping itu, ada juga pendekatan
manajemen publik yang sangat populer di negara-negara berkembang yaitu “manajemen
pembangunan. Pendekatan tersebut didasarkan atas pendapat Bryant & White
(1982) dan Esman (1991) yang melihat bahwa tugas pokok pemerintah yang nyata adalah membangun negara melalui
berbagai program dan proyek.
D.
Fungsi-Fungsi
Manajemen
Berikut ini akan dijelaskan fungsi
fingsi manajemen yang merupakan tanggungjawab para manajer publik.
1.
Fungsi
Manajemen Kebijakan
Dalam proses kebijakan, seorang
manajer secara aktif terlibat dalam penentuan program-programroyek-proyek yang
diusulkan untuk ditangani dalam tahun anggaran tertentu. Manajer publik
harus mendorong agar kebijakan yang
diusulkan dapat mengakomodasikan nilai-nilai rasionalitas (aspek teknis) dan
aspirasi berbagai kelompok kepentingan (aspek politis), sehingga suatu usulan
diterima masyarakat.
2.
Fungsi
Manajemen SDM
Dalam pengelolaan SDM perlu diperhatikan
jumlah, jenis, kualitas, distribusi dan utilisasi SDM yang bekerja dalam
organisasi. Jumlah, jenis, dan kualitas sangat tergantung kepada beban kerja
dari setiap unit kerja yan ada, sementara itu utilisasi sangat tergantung
kepada komitmen yang dimiliki.
Dalam menangani SDM ini biasanya seorang
manajer membentuk suatu unit yang sering dikenal dengan bagian personalia, atau
unit Manajemen SDM. Disamping itu, dalam pengelolaan SDM perlu diperhatikan
motivasi yang tepat agar pegawai dapat melakukan pekerjaan dengan penuh
semangat dan tanggung jawab.
3.
Fungsi Manajemen Keuangan
Tugas utama seorang manajer dalam
bidang ini adalah bagaimana mencari dana, merencanakan dan mengalokasikannya
sesuai dengan kebutuhan yang ada, memanfaatkannya secara optimal, dan
mengendalikan penggunaannya sesuai rencana.
4.
Fungsi Manajemen Informasi
Semua keputusan seorang manajer
baik berkenaan denggan perencanaan, budgeting, pengambilan keputusan,
pengembangan unit-unit organisasi, pengendalian koordinasi, sangat membutuhkan
data dan informasi. Bahkan Jumlah dan kualitas informasi pada saat sekarang ini
merupakan kekuatan untuk bekerjasama dengan pihak-pihak luar termasuk
penguasaan pasar.
5.
Fungsi Manajemen Hubungan Luar
Tujuan mengelola hubungan luar
tersebut adalah terbentuknya suatu network yang sehat dimana semua yang
terlibat dapat merasakan kepuasan bersama. Dalam manajemen hubungan luar ini,
seseorang manajer diharapkan merencanakan kegiatan kunjungannya kedaerah-daerah
jurusdiksinya dan ke organisasi swasta termasuk LSM untuk membaca berbagai
kebutuhan lokal, dan mencoba mengolah dan mengartikulasikannya kedalam
usulan-usulan program, proyek, atau kegiatan-kegiatan.
E. Beberapa Isu Penting
1.
Isu
Perlibatan Sektor Swasta dan Masyarakat
Sebagai implikasi dari reformasi
administrasi publik yang memusatkan perhatian pada prinsip Reinventing
Goverment atau New Public Management, pemerintah disarankan untuk melibatkan
sektor swasta dan masyarakat dalam pelayanan publik.
Sementara masalah keterlibatan sektor
swasta dalam pelayanan publik masih menimbulkan polemik, warga masyarakat,
pelanggan, ataupun klien sebagai penerima pelayanan publik terus mengeluh
tentang ketidak profesionalan memberi pelayanan publik. Oleh karena itu dimasa
mendatang sebaiknya memfokuskan diri kepada peningkatan profesionalisme atau
profesionalisasi pelayanan publik ditubuhnya. Hal ini akan mendorong sektor
swasta dan masyarakat untuk mengkuti jejak tersebut.
2.
Isu
“Accountable Manajemen”
Berikut ini akan dijelaskan secara
singkat isu-isu strategis yang berkaitan dengan masing-masing elemen AM, yang
diharapkan dapat ditangani secara profesional agar manajemen publik benar-benar
menjadi manajemen yang akuntable.
a.
Kompetensi
standard dalam tugas pekerjaan
Seorang
manajer yang akuntabel seharusnya meneliti persyaratan pekerjaan secara cermat
dan kemudian mencari personel yang tepat dan obyektif untuk menduduki jabatan
dalam rangka melaksanakan pekerjaan tersebut. Dengan kata lain, kompetensi standard
harus mendapatkan perhatian khusus.
b.
Pengukuran
kerja
Secara
normatif, suatu organisasi pelayanan publik seharusnya melakukan pengukuran
kinerja secara komperhensif dengan menggunakan parameter seperti efisiensi,
efektivitas, dan kualitas, atau ditambah parameterlain seperti economy, equity,
sustainability, relevance, responsiveness, accountability dan control.
c.
Pengorganisasian
dan Pengontrolan Sumberdaya
Sumberdaya
yang digunakan suatu organisasi publik terdiri atas manusia dan non manusia.
Sumberdaya manusia meliputi aspek kuantitas dan kualitasnya, sedangkan non
manusia berkenaan dengan dana, sarana dan fasilitas yang dimiliki, informasi,
dan hubungan luar.
d.
Sistim
monitoring dan Evaluasi
Upaya
yang dilakukan untuk merekam kemajuan suatu kegiatan yang dilakukan secara
teratur seharusnya didukung karena dengan demikian kita dapat menilai tingkat
kinerja sementar dari organisasi maupun para pekerjanya. Di tanah air kita,
pemanfaatan monitoring dan evaluasi sebagai fungsi manajemen belum optimal. Hal
ini disebabkan kebanyakan laporan yang dibuat berdasarkan monitoring dan
evaluasi lapangan lebih bersifat administratif.
e.
Sistem
Insentif dan Disisentif
Di
Indonesia insentif yang diberikan dinilai sangat rendah, bahkan sebagai salah
satu yang terendah di Asia Tenggara. Rendahnya gaji atau insentif telah
mendorong pegawai atau pejabat tertentu untuk ikut mencari nafkah diluar. Hal
ini dinilai mempengaruhi dan memperburuk kinerja pegawai atau pemberi pelayanan
publik.
Demikian pula dengan penerapan
sistem disinsentif. Pegawai negeri sering melihat dirinya sebagai orang yang
paling aman dalam hal mencari nafkah sebab dalam kenyataan mereka tidak gampang
dipecat atau dikeluarkan bila melakukan pelanggaran.
3.
Isu
Komitmen dan profesioanalisme
Pelayanan publik ditanah air dapat kita
lihat sendiri betepa komitmen pemberi pelayanan publik sangatlah rendah.
Komitmen kepada kepentingan para penerima pelayanan seperti masyarakat kurang
diperhatikan, dan komitmen kepada nasib para pemberi pelayanan juga sangat
memprihatinkan.
Dalam kenyataan belum dipersoalkan
secara serius profesionalisme para manajer. mereka sering mengangkap bahwa diri
mereka sudah profesional, padahal tidak.
BAB
5 DIMENSI ORGANISASI
A. Pendahuluan
Dimensi organisasi berkenaan dengan
siapa atau kelompok mana yang harus mengimplementasikan atau mengerjakan apa
yang telah diputuskan. Aspek pertama yang ditekankan adalah pembagian tugas,
fungsi dan tanggungjawab dalam bekerja baik secara vertikal maupun horizontal.
Aspek kedua yang tidak kalah penting
adalah apakah pihak yang mengerjakan tugas tersebut mampu atau memiliki
kompetensi yang memadai dalam mengerjakan suatu tugas, dengan kemampuan dalam
mengerjakan tugas tersebut. Disamping itu ada aspek lain yaitu merebaknya
gejala “parkinson” atau “raising pyramid”, suatu gejala yang pernah populer
sekali di tahun 1957 oleh V. Northcote Parkinson ( lihat Chandler & Plano,
1988: 148).
Aspek lain yang sering muncul adalah
apakah ada upaya yang berkesinambungan untuk menilai efektivitas dari
organisasi publik yang ada, termasuk unit-unit kerja yang ada didalamnya,
berikut ketetapan struktur dan hierarki yang dibuat.
B. Batasan dan Ruang
Lingkup
Dwight Waldo yang tertarik dengan
struktur mendefinisikan organisasi sebagai struktur otoritas dan hubungan
personal dalam suatu sistem administrasi, sementara Chester Barnard yang
cenderung melihat organisasi sebagai suatu sistem, mendefinidikannya sebagai
suatu sistem aktifitas yang terkoordinasikan secara sadar, atau sistem kekuatan
dua orang lebih, dan Philip Selznick mendefinisikannya sebagai suatu ekspresi
struktural dari kegiatan rasional (lihat Harmon & Mayer, 1986: 18).
Suaru Organisasi sering diberi nama “sistim sosial” dimana orang-orang yang
didalamnya arus taat terhadap berbagai norma yang telah disepakati sehingga
nilai yang dikejar bersama (tujuan) dapat tercapai. Begitu pentingnya struktur
organisasi maka teori organisasi seringkali dilihat sebagai suatu disiplin yang
mempelajari struktur dan design organisasi, baik dalam aspek deskripsi maupun
preskripsi.
C. Perubahan Paradigma
Di dalam teori organisasi, terdapat
beberapa pola atau “blue print” yang berkembang (lihat: Limerick dan
Cunnington, 1993). Dalam blueprint pertama kita mengenal nama besar Adam Smith,
Henry Fayol, F.Taylor, L.Urwick dan L.Gulick, H.L gantt, dsb. Mereka merancang
suatu organisasi yang berorientasi kepada efisiensi tinggi dengan mengajukan
sistim otoritas dan kendali yang sangat hierarkis dengan rentang kendali yang
sangat sempit.
Dalam blueprint kedua, Dapat dilihat
tentang adanya pergeseran pandangan tentang manusia dan organisasi. Manusia
telah dilihat sebagai mahluk sosial yang dapat membentuk sendiri
kelompok-kelompok informal sesuai dengan keinginannya, dan ingin bekerja pada
kondisi kerja yang menyenangkan.
Dalam blueprint ketiga, organisasi
dilihat sebagai suatu sistem, dimana diasumsikan bahwa didalamnya terdapat 5
unsur. Dalam blue print ini dipersoalkan dua sistem organisasi yang dikenal
dengan “mechanistic system” dan “organic system”.
Muncul blueprint keempat atau paradigma
baru yang mengarahkan perhatiannya kepada realitas dan kebutuhan pada ahir
dekade abad keduapuluh. Karya K.E.Weick dan J.D. Orton pada tahun 1990an
tentang “loosely coupled organizations” dimana organisasi-organisasi didalamnya
membentuk pasanga-pasangan unit kerja (loose coupling whitin organization) dan
membentuk pasangan kerja dengan organisasi lain (loose coupling betwen
organization) yang responsif antara yang satu dengan lainnya, dan saling
kolaboratif.
Perubahan paradigma dalam organisasi
juga dapat dilihat dari kacamata yanjg lain, yaitu yang diwarnai oleh paradigma
birokrasi dan oleh post birokrasi. Banyak yang kritikan yang dilontarkan kepada
pemikiran weber tetapi ada juga yang setuju dengan pemikirannya (lohat Robbins,
1990: 308 – 328). Meskipun demikian, kelebihan yang dilihat meliputi antara
lain bahwa bentuk ini akan berjalan secara efisien pada organisasi yang
berskala besar seperti rumah sakit, militer, sekolah dsb.
Gaebler dan Osborne (1992), dan Osborne
dan Plastrik (1997) mengungkapkan terjadinya pergeseran paradigma dari
birokrasi weber ke paradigma baru yaitu reinventing goverment, atau dalam
bahasa Barzeslay (1993) disebut paradigma “post buracratic”.
D. Desain dan Struktur
Organisasi
Design
organisasi adalah suatu proses yang berkenaan dengan bagaiman
aktivitas-aktivitas organisasi distrukturkan atau dituangkan dalam suatu bentuk
struktur, dengan tujuan membantu manajer untuk dapat mencapai tujuan secara
efisien dan efektif (lihat Chung dan Meggison, 1981: 422).
Bentuk birokratik atau mekanistik
memiliki karakteristik sebagai berikut : (1) ada pembagian departementalisai;
(b) fungsi lini dan staff; (c) hierarki otoritas; (d) rentang kendali; (e)
bentuk datar atau piramidal / tinggi; dan (f) berlaku aturan yang birokratis.
Bentuk lingking-pin, karya Rensis Likert
(1967), dibuat untuk memungkinkan anggota organisasi berpartisipasi pada semua
tingkatan. Seorang anggota organisasi dapat ikut membuat keputusan pada
manajemen tingkat diatasnya atau dibawahnya.
Design yang berbentuk “proyek” sangat
bersifat fleksibel dan tidak permanen. Struktur ini bertahan selama dibutuhkan
saja. Design ini mampu mengurangi kompleksitas lingkungan sampai pada level
yang dapat dikelola. juga memungkinkan para spesialis fungsional berinteraksi
dan berpartisipasi. Akan tetapi design ini bisa menciptakan rasa tidak aman dan
tidak pasti pada para anggotaya karena tidak memperkerjakan mereka secara
permanen.
Sedangkan dalam struktur yang bersifat
matriks, indivisu akan diberi otoritas dan tanggung jawab proyek, tetapi tetap
dalam divisinya (menjalankan fungsi sebagaimana tugas dalam divisinya).
Disamping ini ada juga bentuk lain yang merupakan bagian dari bentuk matriks
yang disebut sebagai committee
organization. Bentuk ini biasanya diciptakan untuk kepentingan khusus
misalnya memecahkan masalah tertentu dalam masyarakat.
Design organisasi dengan sistim
konfigurasi yaitu bagaiman melakukan penggolongan yang kompleks dari
elemen-elemen organisasi yang secara internal dapat bersifat kohesif dimana
satu elemen mendukung elemen yang lain. Menurut Henry Mintzberg (lihat shafritz
dan Ott, 1992: 243-254; Robbins, 1990: 1990 275 – 397) dalam suatu
organisasi terdapat lima bagian dasar
atau elemen penting.
|
1.
Struktur
Sederhana
Bentuk “simple structure” digunakan bila suatu
organisasi memiliki tingkat kompleksitas dan formalisasi yang rendah, dan
otoritasnya terpusat pada seorang eksekutif senior, atau dalam perusahaan
swasta terpusat pemilik.. Struktur ini tidak dapat dipertahankan apabila
organisasinya bertumbuh menjadi besar.
2.
Struktur
Birokrasi Mesin
Bentuk “machine bereucracy” digunakan
apabila spesialisasi / differensiasi, formalisasi dan sentralisasinya tinggi,
tetapi lingkungan bersifat sederhana dan stabil. Nampak disini pengaruh tekno
struktur sangat tinggi, dimana standarisasi merupakan pusat perhatiannya.
Bentuk ini sering dipuji karena memiliki keunggulan seperti kemampuan
menjalankan pekerjaan secara terstandard dengan tingkat efisiensi yang tinggi.
Akan tetapi, bentuk ini dikritik karena sering menimbulkan konflik antar unit
dan sub unit. Disini nampak kelakuan dan ketidakmampuan menyesuaikan perubahan
lingkungan. Karena itu, perlu diperhatikan jangan sampai terjadi overregulasi dan
overbirokrasi.
Perlu diperhatikan bahwa design ini
hanya diberlakukan dalam organisasi yang besar dengan lingkungan dalam
organisasi yang besar dengan lingkungan yang stabil dan mudah dikenal (
simple), dan dapat diterapkan suatu bentuk teknologi yang bisa
distandarisasikan dan dirutinkan.
3.
Struktur
Birokrasi Profesional
Bentuk ini mengombinasikan standarisasi
dan desentralisasi, karena tugas yang dijalankan menuntut standarisasi yang
tinggi sekaligus keleluasaan untuk melakukannya. Didalam organisasi ini, para
profesional seperti guru, dosen, dokter diberi keleluasaan untuk untuk
menerapkan skill dan keahliannya. Formalisasi memang ada tetapi tidak
diterapkan terlalu kaku.
Dengan demikian desain ini merupakan
bentuk alternatif yang memberikan peluang desentralisasi pengambbilan keputusan
sementara tetap memanfaatkan sifat mesin birokrasi.
4.
Struktur
Divisi
Kekuasaan dalam struktur divisi dipegang
oleh manajemen tengan (middle
manajemen). Setiap manajemen tengah berfungsi sebagai unit otonom dimana setiap
unit tersebut bertindak sebagai mesin birokrasi bagi dirinya. Salah satunya
keuntungan sari struktur ini adalah lebih akuntabel dan memusatkan perhatian
pada outcome dari pada yang dilakukan oleh bentuk oleh bentuk machine
bereaucracy.
Akan tetapi kelemahan yang menonjol
adalah bahwa struktur ini memiliki kegiatan dan sumberdaya yang ganda.
Kelemahan yang lain adanya kecenderungan
dari bentuk struktur ini untuk merangsang konflik karena motivasi untuk
bekerjasama antara divisi dangat kecil. Dan design seperti ini hanya bisa
diterapkan dalam suatu lingkungan yang bersifat “simple” dan stabil.
5.
Struktur
Adhocracy
Adhocracy adalah suatu bentuk struktur
yang digunakan bila diferensiasi horizontalnya tinggi, diferensiasi vertikalnya
rendah, tingkat formalisasinya rendah, kebutuhan akan fleksibilitas dan
responsivitas tinggi, serta pengambilan keputusan bersifat desentralistis.
Bentuk ini lebih menekankan solusi baru
daripada mengandalkan standarisasi dan formalisasi. Oleh karena keleluasaan
para profesional dalam design ini sangat dibutuhkan maka pembuatan keputusan
mau tudak mau bersifat desentralistis.
Keuntungan dari design ini adalah para
spesialisasi sari berbagai disiplin ilmu dimanfaatkan untuk berkolaborasi dalam
suatu tim koordinasi yang mantap sehingga masalah-masalah rumit yang dihadapi
lebih mudah dipecahkan. Akan tetapi, kelemahannya terletak pada ketidak jelasan
peran antara pimpinan dengan bawahan yang seringkali justru menimbulkan
konflik. Disarankan bahwa bentuk ini sebaiknya digunakan apabila menghadapi
lingkungan benar-benar dinamis dan kompleks.
E. Kaitan Antara Desain
Struktur dengan Pola Manajemen
Secara teoritis desain struktur
organisasi dapat dilakukan dengan cara “top down” dan “buttom up”. Dalam
prosedur top-down, tujuan umum organisasi harus diterjemahkan kedalam
tujuan-tujuan khusus atau spesifik. Dalam prosedur bottom-up, proses-proses
dasar yang digunakan organisasi harus terlebih dahulu ditetapkan dan kemudian
ditentukan teknologi pokok yang dipakai dalam proses-proses tersebut.
Meskipun secara teoritis terdapat dua
prosedur yang berlainan tetapi dalam kenyataan keduanya tidak dapat dipisahkan
karena mendesain organisasi tidak sekali jadi. Kombinasi antara kedua prosedur
tersebut sangat dianjurkan.
Desain struktur organisasi meliputi rancangan
tingkat diferensiasi, formalisasi, dan dispersi atau pembagian otoritas.
1. Tingkat Difensiasi
Tingkat difensiasi menunjukan sampai
seberapa besar jumlah unit yang dibutuhkan dan spesialisasi apa saja yang
dibutuhkan organisasi. Diferensiasi dibedakan atas diferensiasi vertikal dan
horizontal. Diferensiasi horizontal berkenaan dengan jumlah unit kesamping yang
dibutuhkan, sementara diferensiasi vertikal berkaitan dengan jarak keatas mulai
dari posisi yang paling rendah ke yang paling tinggi (prinsip hierarkis).
Didalam manajemen tradisional, bentuk
cenderung piramidal. Karena organisasi tradisional berasumsi bahwa lingkungan
selalu stabil maka kebanyakan tugas-tugas didesain secara rutin dengan
spesialisasi khusus. Dalam mendesain kerja, desainer yang menganut organisasi
tradisional akan cenderung memisahkan secara tegas tugas-tugas berfikir
(thinking) dengan tugas melaksanakan (doers). Disini pelaksana hanya
melaksanakan tugas semata-mata.
2. Tingkat Formalisasi
Tingkat formalisasi berkenaan dengan
standarisasi, prosedurkerja, dan aturan serta norma-norma formal yang
ditetapkan untuk dipatuhi dalam melaksanakan pekerjaan. Standarisasi berkenaan
dengan pengaturan kualitas kerja dalam setiap pekerjaan, kualifikasi orang yang
menangani pekerjaan tertentu, persyaratan untuk minimal untuk menduduki jabatan
tertentu dan melaksanakan fungsi tertentu, dan hasil minimum yang harus dicapai
dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
Prosedur kerjaberkenaan dengan
pengaturan urut-urutan kegiatan dalam setiap kegiatan organisasi. Penetapan
aturan-aturan kerja serta norma-norma yang harus dipatuhi semua personil,
bagian, dan tingkatan manajemen disebut “regulasi”.
3. Tingkat Dispersi
Otoritas
Dispersi otoritas berkenaan dengan
bagaimana mengatur pembagian kewenangan untuk memutuskan atau mengambil
keputusan tentang suatu masalah. Ada dua kemungkinan yang terjadi dari dispersi
otoritas tersebut yaitu desentralisasi dan sentralisasi.
F. Efektivitas Organisasi
Suatu organisasi bisa dikatakan efektif
kalau tujuan organisasi atau nilai-nilai sebagaimana ditetapkan dalam visinya
tercapai. Nilai-nilai ini merupakan nilai-nilai yang telah disepakati bersama
antara para stake holders dari organisasi yang bersangkutan. Karena itu
pencapaian visi merupakan indikator yang paling penting.
Menurut Amitai Etzioni, efektivitas
organisasi menggambarkan sampai seberapa jauh suatu organisasi merealisasikan
tujuan ahirnya (goals). Literatur lain menggambarkan tingkat efektivitas dari
sisi kemampuan organisasi secara keseluruhan. Hal ini dapat dilihat dari karya
Price & Mueller, (1986)., Yang nampaknya kurang populer namun sangat
penting karena berisi variabel-variabel yang secara tidak langsung tetapi
komperhensif dalam mengukur kualitas atau sehat-tidaknya organisasi.
G. Beberapa Isu Penting
Sebagaimana telah disampaikan diawal bab
ini, isu yang sangat populer di setiap organisasi publik saat ini adalah
merebaknya gejala “parkinson”. Soerang pejabat terus mengangkat jumlah
bawahannya meskipun beban kerjanya relatif tetap, sebagai perwujudan kekuasaannya.
Isu kedua, berkenaan dengan penentuan
jabatan atau posisi tidak didasarkan atas kebutuhan rill, tetapi atas
pertimbangan beberapa orang atau siapa saja yang harus diberi perhatian khusus.
Isu lain yang juga populer, yaitu menempatkan orang tidak sesuai dengan
kompetensi dan spesialisasinya.
Suatu isu menarik yang sering muncul
kepermukaan adalah isu tentang penentuan struktur organisasi. Sebagaimana telah
dijelaskan dalam penentuan jabatan, isu tentang penentuan struktur mengikuti
pola yang serupa. Seringkali kehadiran suatu struktur serta jabatan lebih
bersifat politis, lebih didasarkan pada muatan kepentingan, daripada kebutuhan
rill.
BAB 6
DIMENSI ETIKA
A. Pendahuluan
Dimensi etika dianalogikan dengan sistem
sensor didalam administrasi publik. Dimensi ini dapat berpengaruh pada
dimensi-dimensi lain, dan sangat mempengaruhi tercapai tidaknya tujuan
administrasi publik pada umumnya, dan tujuan organisasi publik pada khususnya.
Kerena itu dimensi ini dianggap sebagai dimensi strategis dalam administrasi
publik.
John A. Rohr (1989: 60) yang mendasarkan
pendapatnya pada buku Morality and
Administration in Democratic Goverment karya Paul Appleby, menyatakan bahwa
diskresi administrasi menjadi “starting
point” bagi masalah moral atau etika dalam dunia administrasi publik.
Upaya perbaikan moralitas dalam
kebijakan , organisasi dan manajemen sangat potensial dalam membantu
penghematan biaya baik dalam pelayanan publik maupun pembangunan. Berbagai
bentuk tindakan amoral diantara para administrator dan pejabat publik yang
hanya menguntungkan mereka dan kroni-kroninya, telah merugukan negara selama
beberapa dasawarsa, dan membuat perekonomian negara bertambah terpuruk dengan
beban utang yang semakin membengkak.
B. Batasan dan Ruang
Lingkup
Bertens berkesimpulan bahwa ada tiga
arti penting etika, yaitu etika (1) sebagai nilai-nilai moral dan norma-norma
moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sekelompok dalam mengatur
tingkah lakunya, atau disebut dengan “sistim nilai”, (2) sebagai kumpulan asas
atau nilai moral yang sering dikenal dengan “kode etik”, dan (3) sebagai ilmu
tentang yang baik atau buruk, yang acap kali disebut “filsafat moral”.
Dalam dunia administrasi publik atau
pelayanan publik, etika diartikan sebagai filsafat dan :profesional standards”
(kode etik), atau right rules of conduct” (aturan berprilaku yang benar) yang
seharusnya dipatuhi oleh pemberi pelayanan publik atau administrator publik
(lihat Denhardt, 1988).
Menurut The Public Administration
Dictionary (Chandler & Plano, 1988: 17), etika didefinisikan sebagai cabang
filsafat yang berkenaan dengan nilai-nilai yang berhubungan dengan perilaku
manusia, dalam kaitannya dengan benar atau salah suatu perbuatan, dan baik atau
buruk motif dan tujuan dari perbuatan tersebut (lihat Chandler & Plano,
1988:17).
C. Paradigma
Menurut Chandler dan Plano (1988) dalam
etika terdapat empat aliran yaitu, Empirical
theory,berpendapat bahwa etika diturunkan dari pengalaman manusia dan
persetujuan umum. Rational theory melihat
bahwa bahwa baik atau buruk sangat tergantung dari alasan dan logika yang
melatarbelakangi suatu perbuatan, bukan pengalaman. Intutitive theory
berargumen bahwa etika tidak harus berasal dari pengalaman dan logika, tetapi
diri manusia secara ilmiah memiliki pemahaman tentang apa yang benar dan salah,
baik atau buruk. Relevation theory berpendapat bahwayang benar atau yang salah
berasal dari kekuasaan diatas manusia yaitu tuhan sendiri.
Disamping empat aliran utama diatas,
yang sering dipertentangkan dalam administrasi publik karena pengaruhnya kepada
administrator adalah pendekatan teologis, utilitarianisme, dentologis, dan
virtue etnics. Pendekatan teologis dan utilitarianisme merupakan pendekatan
yang berorientasi kepada tujuan dan difokuskan kepada akibatnya. Teologis
secara khusus berkenaan dengan maksud dan tujuan, sementara utilitarian
berkenaan dengan akibat yang dirasakan.
Deontologi merupakan salah satu cabang
etika yang menekankan kewajiban, tugas, tanggung jawab dan prinsip-prinsip yang
harus diikuti. Menurut aliran Virtue Ethnics, baik atau buruk ditentukan dari
“the excelences of character” yang ditunjukan dari integritas (lihat Bownman,
2003: 1259 – 1263).
Wayne A.R.Leys (1994) menyatakan bawha kebiasaan dan tradisi tersebut harus
“digoyang” dengan standard etika yang ada dimana etika, katanya, harus dilihat
sebagai source of doubt. Oleh
Denhardt (1988) ini disebut sebagai model I – the 1940’s.
Hurst A. Anderson ditahun 1953
mengungkapkan dalam suatu pidatonya dengan judul Etchnical Values in Administration (nilai-nilai etika dalam
administrasi). Katanya etika sangat penting dalam setiap keputusan
administratif, tidak hanya bagimereka yang memformulasikan kebijakan publik.
Oleh Denhardt ini diklasifikasikan sebagai model II – the 1950’s.
Robert T.Gombelski melihat etika sebagai
“contemporary standars of right conduct” yang harus disesuaikan dengan
perubahan waktu. Denhardt melihat ini sebagai model III – 1960’s.
Dalam model IV – 1970’s, yang merupakan
akumulasi penyempurnaan dari model-model sebelumnya dimana dikatakan bahwa agar
menjadi etis seorang administrator harus benar-benar memberi perhatian pada
proses menguji dan mempertanyakan standard, atau asumsi yang melandaskan
pembuatan keputusan administratif.
Dalam model ke V – after Rohr, dimana
dikatakan bahwa untuk dapat disebut etis maka seorang administrator harus
secara independen masuk dalam proses menguji dan mempertanyakan
standard-standard yang digunakan dalam membuat keputusan.
Dalam model ke VI menggambarkan
pemikiran Cooper bahwa antara administrator, organisasi, dan etika terdapat
hubungan penting bahwaetika para administrator justru ditentukan oleh konteks
organisasi dimana ia bekerja (Denhardt, 1988:26)
D. Aplikasi Etika dan
Moral
Aplikasi etika dan moral dalam praktek
dapat dilihat dari kode etik yang dimiliki oleh administrator publik. Kehadiran
kode etik lebih berfungsi sebagai kontrol langsung sikap dan perilaku dalam
bekerja diatur secara lengkap melalui aturan atau tata tertib yang ada.
Kode etik tidak hanya sekedar ada,
tetapi juga diimplementasikan dalam bekerja, dinilai tingkat implementasinya
melalui mekanisme monitoring, kemudian dievaluasi, dan diupayakan perbaikan
melalui konsensus. Komitmen terhadap perbaikan etika ini perlu ditunjukan, agar
masyarakat publik semakin yakin bahwa pemerintah sungguh-sungguh akuntabel.
Di Amerika, nilai-nilai yang dijadikan
kode etik bagu administrator publiknya adalah menjaga integritas, kebenaran,
kejujuran, ketabahan, respek, beri perhatian, keramahan, cepat tanggap,
mengutamakan kepentingan publik diatas kepentingan lain, bekerja profesional,
pengembangan profesionalsime, komunikasi terbuka, kreatif, dedikasi, kasih
sayang, penggunaan keleluasaan untuk kepentingan publik, beri perlindungan
terhadap informasi yang sepatutnya dirahasiakan, dukungan terhadap sistim
“merit” dan progran “affirmative action”.
Untuk membantu menerapkan
prinsip-prinsip etika dan moral di indonesia, pengalaman dinegara-negara lain
perlu ditimba. Tidak dapat disangkal bahwa pada saat ini Indonesia yang dikenal
sebagai negara koruptor nomor muda, perlu berupaya keras menerapkan
prinsip-prinsip etika dan moral. Etika administrator publik atau manajer
publik, etika perencanaan publik, etika pegawai negeri sipil, dsb., harus
diprakarsai dan mulai diterapkan sebelum berkembangnya budaya yang bertentangan
dengan moral dan etika.
E. Beberapa Isu Penting
Menurut Denis Thimpson (Shafritz &
Hyde, 1997), di dalam administrasi publik terdapat isu etika yang
kontroversialis dan dilematis, yaitu etika netralitas dan etika struktur. Etika
netralitas menuntut seseorang administrator untuk netral, artinya menerapkan
prinsip etikasesuai kebijakan organisasi atau sebagaimana diputuskan oleh
organisasi, dan tidak boleh menerapkan prinsip etika yang dianutnya.
Sementara itu, etika struktur menyatakan
bahwa organisasilah atau pimpinan organisasilah yang bertanggung jawab akan
semua keputusan dan kebijakan yang dibuat, bukan individu aparat.
Isu lain menyangkutnorma-norma yang
bersifat absolut dan relatif. norma-norma yang bersifat absolut cenderung
diterima dimana-manadan dianggap sebagai “universal rules”. Nilai-nilai dalam
pancasila dan pembukaan UUD 45 merupakan contoh kongret dari nilai-nilai
tersebut. Mereka yang yakin dengan kenyataan ini dapat digolongkan sebagai kaum
absolutis.
Dalam hal lain kaum relativis
berpendapat bahwa nilai-nilai yang bersifat universal baru dapat diterima
sebagai sesuatu yang etis bila diuji dengan kondisi atau situasi tertentu.
Konflik paradigmatis yang sering terjadi antara kaum relativis dengan absolutis
merupakan hal yang sering biasa terjadi.
BAB 7 DIMENSI
LINGKUNGAN
- Pendahuluan
Pentingnya
pengaruh lingkungan tersebut mulai disadari sejak munculnya konsep dan teori
tentang ekologi administrasi atau ekologi organisasi, atau sejak
teridentifikasinya konsep “sistem terbuka” oleh F.E.Emery (robbins, 1991) yang
mengakui adanya interaksi antara suatu organisasi dengan lingkungan.
Ketika
pembangunan dinegara berkembang dimulai, administrasi publik merupakan salah
satu doktrin penting moderenisasi. Banyak pakar memberi reaksi negatif terhadap
pemaksaan model administrasi publik
barat ke negara sedang berkembang karena situasi dan kondisi di negara
sedang berkembang dangat berbeda dengan dunia barat. Yang disarankan oleh para
pakar adalah adaptasi administrasi publik sesuai dengan situasi dan kondisi di
negara sedang berkembang.
Dewasa
ini kesadaran akan peran yang dimainkan oleh lingkungan semakin tinggi, dan
kesadaran untuk melakukan adaptasi atau menghadapi lingkungan yang dinamis juga
mulai meningkat. Banyak pihak mulai mempelajari hal ini dan menyusun strategi
yang lebih sesuai menuju kesuksesan.
- Batasan dan Ruang lingkup
Lingkungan
diartikan sebagai semua faktor yang berada diluar organisasi, atau demua yang
diluar batas organisasi. Lingkungan ini mencangkup lingkungan umum yang
mempengaruhi organisasi secara tidak langsung (ekonomi, politik, dll).
Lingkungan khusus yang memiliki pengaruh yang terasa secara langsung
(pelanggan, pemasok, dll) (lihat Robbins, 1991: 206) .
ruang
lingkup yang lain disingkat dalam bentuk akronim PEST. yaitu politik, ekonomi,
sosial, dan teknologi. Menurut Katz dan Kahn (1978), lingkungan organisasi
terdiri atas 5 aspek yang harus selalu dimonitor dan direspon agar selalu
efektif, yaitu nilai-nilai masyarakat, lingkungan politik, lingkungan ekonomi,
lingkungan informasi, dan lingkungan fisik.
- Pergeseran Paradigma
Dalam
perkembangan administrasi publik terdapat dua paradigma umum tentang hubungan
antara organisasi dengan lingkungan. Paradigma pertama dikenal dengan nama
“sistem tertutup” (closed system) dan kedua adalah “sistem terbuka” (open
system).
Sistem
tertutup menggambarkan interaksi yang terbatas dari suatu organisasi terhadap
lingkungannya, dan apa yang dikerjakan organisasi tersebut hampir tidak
tergantung kepada lingkungannya. Karena itu, perkembangan organisasi tidak
tergantung kepada lingkungannya. Sebaliknya sistem terbuka menggambarkan
interaksi yang begitu intensif antara suatu organisasi dengan lingkungannya,
sehingga apa yang dikerjakanorganisasi tersebut sangat didikte oleh lingkungannya.
Sistem terbuka juga selalu melihat eksistensi dan perkembangan suatu organisasi
dalam kaitannya dengan sistem lingkungan yang ada disekitarnya.
- Karakter Lingkungan
Ada
dua karakter penting dari lingkungan yaitu turbulence
dan munificience (Kantz dan Kahn, 1978; Simon,
1958; Thompson, 1967). Turbulence berkenaan
dengan sifat lingkungan mengalami perubahan yang kacau balau, atau tetap
stabil, sedang munificient berkenaan
dengan sifat lingkungan yang mengalami tingkat kelangkaan atau kelimpahan sumberdaya
penting.
Ada
juga pembagian lain dari Gregory G.Dess dan Donald W.Beard (lihat Robbins,
1990: 218 – 219) yaitu menurut dimensi kemampuan, dinamika, dan kompleksitas.
Dimensi kemampuan berkenaan dengan sumberdaya yang dimiliki lingkungan yaitu apakah
masih berkelimpah atau sudah mulai langka. Dimensi dinamika menunjukan tingkat
kesetabilan suatu lingkungan yang memungkinkan suatu organisasi memprediksi
masa depannya. Sedangkan dimensi kompleksitas lingkungan menggambarkan tingkat
heterogenitas dan konsentrasi elemen-elemen lingkungan. Lingkungan yang
“simple” adalah yang homogin dan terkonsentrasi, sedangkan yang kompleks adalah
yang homogen dan tersebar.
- Mengenal Lingkungan
Environmental scanning merupakan
suatu teknik umum yang sering digunakan untuk membaca karakteristik lingkungan
– apakah lingkungan memberikan peluang (opportunities), dan ancaman (threats).
Dengan mengetahui informasi tentang peluang dan ancaman tersebut, suatu
organisasi dapat mempersiapkan dirinya untuk melakukan penyesuaian. Berbagai
teknik seperti teknik forecasting, market analysis, stakeholders analysis,
dsb., diterapkan untuk memperoleh gambaran tentang pengaruh kondisi eksternal
tersebut.
Untuk
melakukan penyesuaian terhadap kondisi eksternal tersebut, organisasi harus
mengevaluasi kelemahan-kelemahan (weaknesses) dan kekuatan-kekuatannya
(strength).
- Wujud Adaptasi Terhadap Lingkungan
Suatu
organisasi hanya dapat bertahan hidup sepanjang ia mampu melakukan penyesuaian
diri dengan lingkungannya dalam berbagai bentuk yaitu perubahan strategi,
struktur dan budaya kerja.
Michael
T. Hannan dan John Freeman (1997), dalam prespektif adaptasi, mereka
mengemukakan bahwa submit-submit organisasi, manajer dan koalisi dominan
melakukan scanning terhadap lingkungan untuk mendapatkan informasi tentang
peluang, ancaman, merumuskan respons strategis, dan melakukan penyesuaian
struktur organisasi secara tepat.
Hubungan
antara lingkungan dengan perubahan struktur juga dapat dilihat dari tulisan
Stephen P.Robbins (1990: 230-232). Robbins mengga,barkan bahwa dalam menghadapi
lingkungan yang bersifat sangat tidak menentu, organisasi akan mengatur
strukturnya lebihkompleks yaitu menciptakan unit-unit yang lebih khusus dalam
jumlah yang lebih besar dan mengaplikasikan lebih banyak spesialisasi.
Dalam
buku manajemen strategis lain diungkapkan bahwa organisasi dalam merespons
perubahan lingkungannya menggunakan strategi sesuai hierarki organisasi,
misalnya pada tingkat corporate atau organisasi secara keseluruhan, tingkat
busissness atau divisi atau departemene, pada tingkat fungsional (lihat Peter
& Certo, 1990).
Dari
uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa untuk bertahan hidup, atau bahkan
berkembang, kualitasrespons terhadap lingkungan dalam bentuk perubahan
strategi, struktur dan budaya sangat menentukan. Para manajer organisasi harus
menyadarinya dan berperan besar dalam melakukan penyesuaian tersebut.
- Beberapa Isu Penting
- Kekhasan Situasi dan Kondisi Indonesia
Situasi
dan kondisi yang ada di Indonesia selama ini ditandai oleh (1) kondisi dan
situasi sosial politik dan budaya sebagai akibat dari perjalanan sejarah yang
khas; (2) “inertia” (kelambanan) di dalam birokrasi Indonesia yang cenderung
menolah berbagai bentuk perubahan, ataupun kalau menerima hanya sebatas
formalitas atau komuflase; dan (3) negara dengan luas wilayah, fisik yang
begitu kompleks, dengan ribuan pulau dan etnis, pasti menuntut jenis pelayanan
publik yang sangat kompleks.
Pertanyaan
yang muncul adalah mampukah pemerintahan merespons semua kompleksitas tuntutan
dari lingkungan ini secara memadai? Kondisi geografis, ekonomi, sosial, budaya,
politik membawa begitu banyak tuntutan akan public
goods dan public servies yang
begitu kompleks.
- Penerapan Teori dan Strategi Administrasi Publik dari Barat
Pertanyaan
yang menarik adalah apakah semua teori dengan segala bentuk reformasinya cocok
dengan situasi dan kondisi di Indonesia? Hal ini kurang mampu dijawab karena
penelitian dan pengembangan di dunia akademik masih sangat terbatas, dan belum
mampu memberikan jawaban.
Kompleksnya
lingkungan daerah daerah di indonesia kurang direspons tepat selama masa
pemerintahan Soeharto, malah strategi sentralisasi sebagai perwujudan teori
administrasi publik klasik justru dipaksakan. Sentralisasi kekuasaan atau
otoritas seperti ini telah dilai banyak kalangan sangat merugikan Indonesia
sendiri karena menumpulkan kreativitas lokal, dan menelantarkan begitu banyak
manusia Indonesia dan masyarakat di daerah yang potensial, yang siap
dikembangkan selama masa pembangunan.
Sementara
itu, sebagai birokrasi yang besar, pemerintah pusat semakin susah memberikan
yang terbaik karena menghadapi beban pembangunan dan pelayanan yang begitu
besar. Karena lama menjadi pengatur segala-galanya, maka birokrasi pusat
cenderung mendominasi keadaan, dan mulai mengidap penyakit dengan nama
“bereaupathology”.
- Penerapan Teori dan Strategi Pembangunan dari Luar Negeri
Didalam
pengalaman negara sedang berkembang pada umumnya dan Indonesia pada khususnya,
telah dikenal berbagai strategi pembangunan antara lain strategi pertumbuhan,
stabilitas, pemerataan, keberlanjutan, kualitas manusia, dan pemberdayaan.
Dalam pelaksanaanya, strategi-strategi ini dikombinasikan secara bersamaan
dimana masing-masing strategi ini dikombinasikan secara bersamaan dimana
masing-masing strategi diberi porsi anggaran sendiri sesuai dengan tingkat
urgensi dan urutan pentingnya.
Pengalaman
menunjukan bahwa tekanan yang terlalu besar kepada stabilitas dan pertumbuhan
telah membuat Indonesia gagal dalam mencapai tujuan pembangunannya. Pertumbuhan
yang terjadi tidak membawa “trickle down effect”. Dengan demikian, pertumbuhan
yang tinggi yang dicapai oleh indonesia tidak memberikan kesejahteraan bagi
masya rakat banyak.
Berbagai
saran bermunculan dalam agenda pembangunan nasional yang meminta pemerintah
untuk lebih menekankan pembangunan kualitas manusia dan pemberdayaan
masyarakat. Nampak sekilas, bahwa saran ini partisipasinya dalam pembangunan
sekaligus dalam pengambilan keputusan tentang masa depan akan terwujud dimasa
mendatang.
- Penerapan Capacity Building: Strategi baru atau masalah baru ?
“Capacity
building”merupakan serangkaian strategi yang ditujukan untuk meningkatkan
efisiensi, efektivitas dan responsivitas dalam rangka kinerja pemerintahan,
dengan memusatkan perhatian pada dimensi (1) pengembangan sumberdaya manusia,
(2) penguatan organisasi, dan (3) reformasi kelembagaan (lihat Grindle, 1997:
1-28).
Di
Indonesia, capacity building dipresepsikan sebagai kegiatan proyek sehingga
hasilnya tidak berbeda dengan proyek-proyek lain yang dilakukan setiap tahun.
Dan karena pernah dilakukan, maka tidak lagi diusulkan program tersebut ditahun
berikut, harus dicari lagi program baru. Begitulah sistim pengaturan program
dan proyek ditanah air kita yang tidak memiliki keberlanjutan yang sistematis,
dan terus berburu proyek sehingga proses belajar dan menginstitusionalkan
sesuatu yang baru dan berguna, sangat sulit terjadi. Program capacity building
yang dilakukan beberapa tahun silam melalui program Peningkatan Kemampuan
Pemerintahan Kabupaten / Kota benar-benar menjadi investasi yang boros dan
tidak memberi pelajaran bagi daerah untuk mampu merubah nasibnya. Ia telah
menjadi menjelma menjadi suatu masalah dan bukan lagi menjadi strategi untuk
meningkatkan kemampuan pemerintah daerah.
- Prinsip-Prinsip Good Governance: Potensial Menjadi Paradigma Palsu
Pada
saat ini tuntutan akan “good governance” menjadi semakin mendesak, sehingga
nilai-nilai tersebut harus diakomodasikan dalam standard penilaian kinerja
pemerintahan. Semua nilai yang dituangkan dalam rubik “good governance”
sebagaiman telah disampaikan sebelumnya nampaknya menjadi nilai-nilai universal
dan sejalan dengan cita-cita perjuangan bangsa Indonesia sebagaimana tertuang
dalam GBHN 1999-2004.
Namun
demikian perlu diakui bahwa perhatian terhadap nilai-nilai lain masih belum
memuaskan seperti akuntabilitas birokrasi, transparasi dalam pengambilan
keputusan, perlakuan hukum secara adil, dan kemampuan yang memadai dalam
menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan dan formulasi kebijakan.
Grant
melalui program tersebut telah menjadi bisnis internasional yang tidak akan
mampu merubah pola pikir, tradisi, sikap dan prilaku birokrasi serta masyarakat
hanya dalam waktu singkat, apalagi diinstitusionalkan dengan menggunakan sistem
proyek. Nasibnya tentuakan sama dengan proyek-proyek lainnya yang ada selama
ini. Sistem pemanfaatan grant ini perlu dipikirkan kembali agar jangan sampai
menjadi suatu “paradigma palsu”.
BAB 8
DIMENSI KINERJA
A. Pendahuluan
Gerakan
Reveinting Goverment menuntuk agar
kinerja tidak lagi diukur dengan berapa besarnya input dan bagaimana prosedur
yang ditempuh untuk mencapai output sebagaimana dianut selama ini, tetapi
dengan mengutamakan hasil akhir yang benar-benar dirasakan pelanggan atau
masyarakat (lihat Osborne & Gaebler, 1993).
Di
Indonesia, pengukuran kinerja instansi pemerintah jarang dilakukan, sementara
pengukuran kinerja pegawai masih didasarkan pada standard evaluasi yang lama
dan sering menimbulkan masalah, yaitu melalui Daftar Penilaian Pelaksanaan
Pekerjaan (DP3). Oleh karena itu, hasil penilaianpun kurang menggambarkan
apakah seseorang telah memiliki tingkat kinerja tertentu. Dumbangan setiap
individu terhadap pencapaian tujuan
organisasi juga menjadi tidak jelas.
Dengan
diberlakukannya UU Nomor 22 tahun1999 atau otonomi daerah, adanya tuntutan
reformasi melalui gerakan reveinting governance atau good governance, dan
melihan kondisi standard evaluasi yang ada selama ini serata absennya upaya
yang jelas untuk memperbaikinya, maka kebutuhan untuk membangun dimensi kinerja
menjadi sangat mendesak.
B. Batasan
dan Ruang Lingkup
1. Batasan “Kinerja”
Istilah
“kinerja” merupakan terjemahan dari performance
yang sering diartikan oleh para cendikiawan sebagai “penampilan”, “unjuk
kerja”, atau “prestasi”. Dalam administrasi publik, kinerja mulai dituntut
untuk diukur sejak Woodrow Willson menekankan efisiensi dalam desain sistem
administrasi, dan sejak F.W Taylor mendorong pegawai bekerja efisien.
Bernardin
dan Russel (1993: 379) mengartikan kinerja sebagai ”....the record of outcomes
produced on a specified job function or activity during a specified time
period....”. Di Indonesia, kinerja seorang pegawai negeri sipil lebih dikaitkan
dengan “pelaksanaan pekerjaan” sebagaimana tercantum dalam surat edaran BAKN,
No. 02/SE/1980, tertanggal 11 Februari 1980) ketimbang hasil pekerjaan.
Sementara itu Swanson membagi kinerja atas tiga tingkatan yaitu yaitu kinerja
organisasi, kinerja proses, dan kinerja individu.
Secara
umum, parameter atau kriteria yang digunakan dalam menilai kinerja meliputi (1)
kualitas, (2) kuantitas, (3) ketepatan waktu, (4) penghematan biaya, (5)
kemandirian atau otonomi dalam bekerjadan (6) kerjasama (lihat Bernadin &
Russel, 1993).
Di
Indonesia, parameter yang digunakan untuk menilai kinerja pegawai negeri sipil
adalah DP3 yang memuat 7 nilai umum dan 1 nilai khusus. Nilai-nilai umum ini
berlaku untuk semua pegawai yaitu kesetiaan, prestasi kerja, tanggung jawab,
ketaatan, kejujuran, dan kerjasama, sementara parameter khusus hanya ada 1 saja
yaitu kepemimpinan yang berlaku bagi para pemegang jabatan yang ada.
2. Penilaian Kinerja
(Performance Appriassals)
Penilaian
kinerja secara populer lebih diartikan sebagai penilaian hasil kerja individu,
dan bukan kelompok,, organisasi, atau proses sebagaimana disampaikan oleh Swanson
dan Holton III (1999). Secara teoritis dan praktis, penilaian kinerja ini
sangat erat kaitannya dengan job
delineation. Artinya, suatu penilaian tidak dapat dilakukan jika masih
terdapat ketidak jelasan tentang pekerjaan itu sendiri (Donovan dan Jackson,
1991: 329).
Menurut
Locher dan Teel penilaian berguna untuk menentukan kompensasi, perbaikan
kinerja, umpan balik, dokumentasi, promosi, pelatihan, mutasi, pemecatan,
pemberhentian, penelitian kepegawaian dan perencanaan tenaga kerja. Hal serupa
juga disampaikan oleh Siagian (1999)
bahwa sistem penilaian kinerja yang baik akan sangat bermanfaat untuk berbagai
kepentingan, seperti mendorong, peningkatan prestasi kerja, bahkan pengambilan
keputusan dalam pemberian imbalan, kepentingan mutasi pegawai, penyusunan
program pendidikan dan pelatihan, dan membantu pegawai dalam menentukan rencana
karirnya.
C. Paradigma Penilaian Kinerja
Secara
teoritis terdapat dua paradigma yang populer yaitu paradigma manajemen normatif dan paradigma manajemen baru. Dalam manajemen normatif terdapat 3
aliran yang mempunyai orientasi memandang pegawai secara berbeda (lihat Miles,
1975: 171 – 173). Aliran pertama adalah manajemen
klasik yang memandang pegawai sebagai faktor produksi yang dapat
dimanipulasi. Aliran kedua adalah manajemen
human relations yang melihat pegawai sebagai mahluk sosial yang kebutuhan
sosialnya perlu dipenuhi. Aliran ketiga adalah aliran manajemen sumberdaya manusia yang melihat aparat sebagai sumberdaya
manusia yang harus yang harus dikembangkan untuk meningkatkan martabatnya dan
pencapaian tujuan organisasi.
Dalam
konteks Manajemen Publik Baru, penilaian kinerja harus dilihat sebagai upaya
yang berkesinambungn dalam rangka memberbaiki kinerja organisasi publik.
Penilaian harus ditunjukan tidak hanya kepada cara yang ditempuh suatu lembaga
pemerintah, tetapi juga pencapaian tujuan lembaga pemerintahan yang didasarkan
pada visi dan misi serta harapan masyarakat.
D. Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Penilaian Kinerja
Decitiit
dan Petit (lihat Chung & Megginson, 1981) mengungkapkan bahwa ada beberapa
faktor yang menentukan efektivitassuatu penilaian kinerja yaitu (1)relevansi
dari kriteria kinerja yang dipilih, (2) kemampuan penilaian dalam mengevaluasi
kinerja pihak yang dinilai secara benar, (3) motif penilaian dalam mengevaluai
kinerja pihak yang dinilai secara benar, (4) penerimaan pihak yang dinilai
terhadap proses penilaian.
Secara
teoritis efektivitas dari penilaian kinerja dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor. The four-component Performance Appraisal Model diperkenalkan oleh
Murphy dan Cleveland mengajukan variable penting dalam penilaian kinerja yaitu the rating context, the performance
judgement, the performance rating, dan the
evaluation of the appraysal system.
Untuk
melakukan kajian secara lebih mendalam tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
efektivitas penilaian kinerja di Indonesia, meka perlu melihat beberapa faktor
penting sebagai berikut. Pertama, kejelasan
tutntutan hukum atau peraturan perundang-undangan untuk melakukan penilaian
secara benar dan tepat. Kedua, Manajemen
sumberdaya manusia yang berlaku memiliki fungsi dan proses yang sangat
menentukan efektivitas penilaian kinerja. Ketiga,
kesesuaian antara paradigma yang dianut oleh manajemen suatu organisasi
dengan tujuan penilaian kinerja. Keempat,
komitmen para pemimpin atau manajer organisasi publik terhadap pentingnya
suatu penilaian kerja.
E. Pendekatan Penilaian Kerja
Secara
umum, untuk menilai kinerja telah dikembangkan 2 pendekatan utama yaitu
pendekatan perilaku dan pendekatan hasil. Pendekatan perilaku mempelajari
perilaku yang relevan atau yang berhubungan langsung dengan pelaksanaan tugas
pekerjaan seseorang. Pendekatan hasil mempelajari apakah hasil yang diperoleh
telah sesuai dengan tuntutan dari pihakyang membutuhkan dan telah diberikan
dengan kualitas yang terbaik atau di distribusikan secara adil kepada mereka
yang membutuhkan.
Dalam
pendekatan perilaku, penerapan “cara untuk menghasilkan” sesuatu yang
diinginkan menjadi pusat perhatian penilaian. Sementara itu, didalam pendekatan
hasil, yang dinilai adalah ketepatan hasil sesuai dengan harapan atau rencana,
atau yang secara populer disebut dengan kriteria effektivitas.
Salah
satu model yang sangat populer dikemukakan oleh Christhoper Pollit dan Geert
Bouckaert (2000: 12-13) adalah model input/output (the input/output model).
Model tersebut mengasumsikan bahwa institusi / program dibangun untuk memenuhi
kebutuhan sosial ekonomi tertentu.
F. Prinsip Penilaian Kinerja
Prinsip
penilaian kinerja dapat dipelajari dari tulisan Bernardine dan Russel (1999).
Dalam membuat keputusan yang berkaitan dengan penilaian kinerja, terdapat 4 hal
utama yang perlu diperhatikan, yaitu (a) aspek yang dinilai, (b) proses
pengukuran, (c) penentuan pihak yang menilai, (d) penentuan pihak yang dinilai.
Didalam
proses penilaian pengukuran kinerja terdapat beberapa pilihan yang harus
dibuat, yaitu jenis skala pengukuran, jenis-jenis instrumen penilaian, pengawas
tingkat kesalahanpencatatan untuk hambatan prestasi situasional, dan seluruh
metode peengukuran skor.
Sehubungan
dengan beberapa hal diatas, aspek lain yang perlu diperhatikan adalah unit
analysisnya. Ditinjau dari unit analysisnya, penilaian kinerja dapat dibedakan
atas job performance yang biasanya
diukur langsung dari pegawai atau pejabatnya, organizational performance yang diukur dari kinerja organisasi
secara keseluruhan, dan Program
Performance yang menggambarkan kinerja progeam atau kebijakan.
Didalam
suatu organisasi sebaiknya diperhatikan semua jenis kinerja tersebut, karena
mereka saling terkait. Kerja individu terkait dengan kinerja organisasi dan
program. Perhatian ini harus dilembagakan agar para anggota organisasi selalu
memberi perhatian kepada ketiga jenis kinerja itu dan berupaya untuk
menyumbangkannya.
G. Beberapa Isu Penting
1. Kemampuan Penilai Mengkaitkan Kinerja
Perorangan dengan Strategi, Tujuan dan Misi serta Visi Organisasi (Straregic
Congruence).
Pertanyaan
yang penting untuk selalu mengingatkan penilai adalah kontribusi apakah yang
dapat diberikan setiap bawahan dalam melaksanakan strategi atau mengemban misi
serta mencapai visi organisasi. Sebagai contoh kalau organisasi X bergerak
dalam bidang kesehatan maka kegiatan organisasi tersebut harus diarahkan kepada
pelayanan kesehatan pula.
Dalam
kaitanya dengan pengalaman di Indonesia , kita jarang melakukan perubahan DP3
meskipun arah pembangunan dan pelayanan dalam public service telah mengalami
perubahan dari waktu ke waktu. Sekarang ada tuntutan bagi setiap lembaga
pemerintah termasuk dinas-dinas dan badan-badan pada tingkat kabupaten atau
kota untuk memiliki renstra dengan visi dan misi.
2. Kemampuan dan Interpendensi Penilai dalam
memberikan penilaian
Pertanyaan
yang menarik adalah apakah semua pemegang jabatan yang ditunjuk sebagai penilai
mampu melakukan penilaian? Apakah mereka selalu mengamati kinerja bawahannya?
Di Indonesia, DP3 tidak diorientasikan kepada para pejabat yaitu tentang
cara-cara penilaian secara profesional, ketika seseorang menduduki suatu
jabatan. Hal ini telah menimbulkan banyak kasus yang menyangkut ketidakpuasanpihak
yang dinilai terhadap yang menilai.
3. Kontrol Terhadap Kualitas Pengukuran Kinerja
Secara
konvensional metode-metode yang paling banyak digunakan untuk menilai pegawai
secara berturut-turut terdiri atas (1) rating scales and essays, (2) rating
scales, (3) goal setting, (4) essay, (5) essay and critycal incident, (6)
rangking, (7) critical incidents (lihat Dresang, 1984: 173). Yang paling
penting adalah metode yang digunakan ini bebas dari apa yang disebut sebagai
“common judgemental errors”.
Memang
benar apa yang disampaikan Dresang diatas. Didalam penilaian kinerja melalui
DP3, seringkali terjadi kesalahan dalam system pemberian nilai oleh seorang
atasan seperti hanya menilai berdasarkan “kesan awal” semata, atau berdasarkan
“kesan terahir” saja.
4. Penerimaan Terhadap Alat Ukur
Dari
hasil kajian beberapa penelitian, diperoleh informasi bahwa cukup banya pegawai
negeri baik berkedudukan sebagai penilai ataupun sebagai pihak yang dinilai
menyatakan kurang setuju dengan beberapa parameter yang digunakan dalam DP3
saat ini, seperti loyalitas. Bahkan ada juga yang menghendaki agar DP3 secara
keseluruhan ditinjau ulang atau dirubah.
Dengan
tingkat penerimaan yang relatif rendah seperti ini maka penilaian DP3 akan
mengandung banyak bias karena adanya praktek “asal isi” dan tidak dapat
digunakan untuk keperluan pengembangan pegawai atau perbaikan kinerja
organisasi.
5. Kejelasan Tentang Apa Yang Diharapkan Dari
Pegawai
Di
dalam sistem kontrak dijelaskan kinerja dan target yang diharapkan dari seorang
pegawai sehingga seorang pegawai mengetahui dengan jelas apa yang diharapkan
dari dirinya. Karena sistem yang berlaku di Indonesia bukan sistem kontrak maka
banyak pegawai negeri sipil yang tidak
jelas kinerjanya karena mereka tidak tahu apa yang diharapkan dari dirinya
dalam kunrung waktu tertentu. Isu ini sangat berkaitan erat dengan sistem
orientasi pegawai yang dilakukan dikantor pemerintahan.
BAB 9
PENUTUP
Keenam
dimensi strategis administrasi publik yang telah diidentifikasikan diatas patut
mendapat perhatian khusus. Setia dimensi memberikan kontribusi yang sangat
signifikan dalam menentukan sehat tidaknya sistem administrasi publik.
Semua
paradigma dalam setiap dimensi strategis yng diuraikan secara singkat dalam
buku ini menggambarkan bahwa telah terjadi “scientific revolution” dalam
disiplin administrasi publik, sekaligus menunjukan bahwa para ahli terus
mencari jalan untuk mengoreksi kekurangan administrasi publik dimasalalu dan
berupaya mencari alternatif baru untuk meningkatkan kemampuan administrasi
publik.
Berbagai
prinsip yang disampaikan dalam setiap dimensistrategis juga menunjukan bahwa
ada upaya untuk mensistimatisasikan pengetahuan, keterampilan, kompetensi atau
kemampuan, yang diikuti oleh dukungan perubahan sikap dan budaya. Dan,
ilustrasi singkat tentang berbagai isu yang dihadapi dalam setiap dimensi
strategismenunjukan bahwa penerapan prinsip-prinsip dari setiap dimensi strategis tidak selamanya menyelesaikan
masalah, tetapi justru menimbulkan masalah-masalah naru.
Pembangunan
di bidang administrasi publik bagi Indonesia merupakan hal yang mutlak
diperlukan saat ini. Perbaikan dalam dimensi-dimensi strategis administrasi
publik harus didasarkan atas masalah, kondisi dan situasi rill masyarakat
Indonesia, bukan semata didasarkan atas model-model yang pernah diterapkan
dalam negara maju.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusterimakasih kak:D
BalasHapusterimakasih. sangat menginspirasi
BalasHapus